10. Senselessness

55 5 0
                                    

Mobil terparkir di depan halaman sebuah bangunan yang tampak tak asing untuknya, bulu kuduk Gani langsung berdiri. Bagaimana tidak, studio yang dimaksud Satria tak lain adalah studio foto milik Mahesa dan teman-temannya. Apa pemilik yang membatalkan perjanjian jual beli itu adalah Mahesa? Sudah sejak lama, Gani tak begitu tahu tentang nasib bangunan ini, yang bisa dia harapkan adalah studio ini sudah berpindah tangan dan pemiliknya bukan lagi Mahesa atau teman-temannya. Bisa mati berdiri dia kalau sampai harus kembali bertemu dengan Mahesa lagi.

"Aku di sini aja, ya." Gani tak punya nyali untuk ikut masuk.

"Lho, kenapa? Ayo ikut aja masuk, sekalian lihat-lihat. Jadi kamu bisa kasih masukan juga buat aku. Yuk." Satria mengulurkan tangannya pada Gani.

Dengan berusaha berpikir positif bahwa pemilik bangunan sudah berganti, akhirnya Gani mau juga ikut masuk ke dalam dan terus menggenggam tangan kokoh Satria sebagai sumber kekuatannya. Begitu akan mengetuk pintu, tiba-tiba sosok Danang muncul. Danang dan Gani sempat saling pandang, mereka sama-sama terkejut.

"Mas Danang, ya?" suara Satria membuat Danang langsung berpaling ke arahnya.

"Iya, saya sendiri. Maaf Anda siapa, ya?" tanyanya balik.

"Saya Satria, saya calon pembeli studio ini. Yang ditelepon kemarin itu."

"Oh, iya, iya, Pak Satria. Silakan masuk," ajak Danang dengan membuka lebih lebar pintu agar kedua orang tamunya itu masuk ke dalam.

"Sebentar ya, saya ambilkan minum."

"Nggak usah repot-repot, Mas. Sebenarnya kami ke sini mau meluruskan persoalan pembatalan jual beli. Kalau boleh saya tahu kenapa mendadak dibatalkan, ya? Padahal saya sudah cocok sekali dengan harga dan lokasinya."

"Sebelumnya saya minta maaf, Pak, kalau saya tiba-tiba membatalkannya. Sebenarnya pemilik studio ini bukan hanya saya saja, tapi ada dua teman saya juga yang berhak atas studio ini. Nah, kebetulan teman saya yang juga pengelolanya baru saja pulang dari luar kota dan minta kalau studio ini jangan dijual karena mau dia fungsikan lagi sebagai studio foto. Gitu Pak, ceritanya. Saya minta maaf sekali kalau sudah mengecewakan."

Gani yang sejak tadi hanya bisa tertunduk dan tak berani menatap Danang langsung dibuat panas dingin saat mendengar penjelasan Danang tadi. Orang yang Danang maksud membatalkan jual beli itu pasti Mahesa. Tenggorokannya semakin tak nyaman dan terasa kering.

"Boleh saya minta nomor teleponnya? Biar saya hubungi sendiri untuk negosiasi, karena saya benar-benar cocok sekali dengan tempatnya," cecar Satria yang masih tidak mau melepaskan studio itu.

"Orangnya ada di dalam, kok, Pak. Sebentar saya panggilkan supaya bisa ngobrol langsung."

"Good choice," jawab Satria semangat.

"Sat, kalau mereka nggak mau jual, ya, udah kita pergi aja. Kita cari lokasi yang lain," bisik Gani yang membujuk Satria agar menyerah dan pergi secepatnya dari sana. Dia ingin menghindari hal terburuk kalau sampai dia bertemu lagi dengan Mahesa.

"Sebentarlah, siapa tahu setelah ketemu langsung dan ngobrol-ngobrol dia mau lepas." Satria tampak belum mau menyerah.

"Tapi Sat, udah dengar sendiri, kan, kalau mereka nggak jual. Nggak usah buang-buang waktu, deh."

"Ini usaha terakhir, kalau sampai orang itu memang nggak mau jual kita pergi, ya." Satria mencium tangan kekasihnya agar Gani mau bersabar sebentar lagi.

"Selamat Pagi," sapa seseorang yang datang bersama Danang.

Satria dan Gani otomatis berdiri dengan keterkejutannya masing-masing. Sosok Mahesa benar-benar ada di hadapan mereka sekarang. Napas Gani langsung memburu, tangannya dengan kuat mengepal tali tas kulit yang tersampir di bahu. Irama degup jantungnya tak terkendali, lututnya serasa kehilangan tenaga untuk bisa menopang tubuh kala harus bertatapan dengan lelaki itu lagi.

A Love to Her (Sekuel A Love to Him)Where stories live. Discover now