20. Never Over Things

64 5 0
                                    


"Congrats, ya, Sayang!" Gani dengan bangga memeluk kekasihnya seerat mungkin setelah Satria memberitahu bahwa penerbitannya mendapatkan undangan untuk ikut serta memamerkan buku-buku yang dimiliki dalam ajang Frankfurt Book Fair.

"Aku bangga banget sama kamu," decaknya lagi tak lupa mencium pipi Satria dengan gemas sebelum pelukan itu terlepas.

Mereka sedang berada di dalam mobil Satria yang masih terparkir di halaman kantor AdvenTourist. Setelah beberapa hari mobilnya menginap di bengkel untuk diperbaiki, sore ini Satria bisa menjemput Gani secara langsung.

"Maaf, ya, baru bisa kasih tahu sekarang. Ngurusin kafe sampai opening kemarin benar-benar bikin aku sibuk sampai lupa kasih tahu."

"Nggak apa-apa. Kenapa minta maaf segala, sih?" Gani mengelus pipi Satria.

"Aku takut kamu pikir aku nggak menghargai kamu."

Pengakuan Satria membuat Gani memeluknya sekali lagi dan kali ini lebih lama. "Kamu perginya kapan?"

"Dua mingguan lagi. Kamu ikut, ya! Masih sempat, kok, untuk urus visa."

Gani langsung melepaskan dekapannya. "Ke Frankfurt?" Satria mengangguk. "Kamu ini ada-ada aja, deh. Ya, nggak bisa, dong, Sayang. Aku lagi sibuk-sibuknya nulis buku Mahesa. Makin cepat aku beresin, makin cepat terbit, kan?"

Satria tidak rela nama Mahesa harus terucap dari bibir tipis kekasihnya itu.

"Tumben kamu semangat nulis? Biasanya juga banyak alasan," sindirnya tak suka.

"Ternyata Mahesa punya banyak banget cerita seru selama perjalanannya, bikin aku juga semangat untuk nulisnya." Saking semangatnya, kedua tangan Gani sampai terkepal.

"Kamu bisa nulis di Frankfurt, kan?"

Kedua tangan Gani yang terkepal tadi langsung turun ke paha. "Tetap nggak bisa. Tiga hari lagi aku juga harus udah berangkat ke NTT."

"Kok, kamu nggak kasih tahu kalau secepat itu?" tubuh Satria miring untuk menatap Gani lebih jelas. Dia mulai berpikir kalau Gani sengaja tidak memberitahukan kapan dia akan pergi bersama Mahesa.

"Masa, sih? Perasaan aku udah pernah kasih tahu kamu tanggal aku pergi. Coba cek reminder handphone kamu, deh."

Satria mengecek ponsel sesuai perkataan Gani untuk membuktikan bahwa memang gadis itu belum pernah memberitahunya.

"Tuh, kan, aku udah kasih tahu," seru Gani membuktikan ucapannya.

"Iya, aku lupa." Satria buru-buru memasukkan ponselnya ke dalam saku celana dengan wajah datar.

"Kamu lagi banyak pikiran, ya? Aku tahu kamu lagi sibuk ngurus ini itu untuk ke Frankfurt, tapi jangan kerja terlalu keras, ya. Harus istirahat juga, jangan sampai nanti kamu malah sakit."

Satria tak berkedip mendengarkan wejangan dari Gani. Perkataan gadis itu menyiratkan bahwa Satria memang sudah sepenuhnya menguasai hati Gani, terlihat dari bagaimana Gani mengkhawatirkan kesehatannya membuat Satria yakin kalau Gani memang mencintainya. Tidak seharusnya dia mencemaskan hal yang tidak perlu. Fakta bahwa Gani mencintainya harusnya sudah cukup membuat Satria lega. Sudah cukup selama beberapa hari ini dia dihantui pikirannya sendiri.

Tapi, jika ingat cerita Tante Kirana tentang betapa Gani mencintai Mahesa dulu kembali membuat Satria mempertanyakan sebesar apa Gani mencintainya kini. Apa kadar cinta yang dimiliki gadis itu padanya sama besar atau bahkan jauh lebih kecil dari kadar cinta untuk Mahesa? Mengingat bagaimana sulitnya dia membantu Gani untuk melupakan lelaki itu.

"Sat? Kok, bengong?"

"Nggak apa-apa. I just tired ..." Satria lalu membimbing Gani ke dalam pelukannya seerat mungkin. Rasa takut kehilangan itu begitu besar dirasakan kali ini.

A Love to Her (Sekuel A Love to Him)Where stories live. Discover now