46. Pertentangan

140 13 8
                                    

Everything, okay. Kamu nggak usah khawatir, ya.”

Itu yang akhirnya dikatakan Mahesa lewat telepon pada Gani saat gadis itu menanyakan tentang pendapat keluarganya. Dia sengaja tidak memberi tahu tentang Papa yang masih agak keberatan karena takut membuat Gani kembali sedih.

You sure?”

“Iya, Sayang ....”

Pertama kali mendengar lelaki itu memanggilnya “Sayang” membuat kupu-kupu yang bersarang di perut kembali menari-nari dengan lincah. Sekian tahun mendamba dengan asa yang nyaris pupus, akhirnya Gani bisa mendengar kata-kata itu terucap juga dari mulut Mahesa. Belum lagi kelegaan saat mendengar bahwa keluarga Mahesa merestui hubungan mereka membuat semangat dan rasa percaya diri Gani tumbuh kembali.

“Kamu sendiri gimana?”

Pertanyaan Mahesa langsung memutus cengiran yang masih melebar di bibir Gani.

“Ibu masih perlu waktu untuk bisa menerima semuanya.”

“Memang sebaiknya dikasih waktu dulu. Tante Kirana masih kaget karena hari ini terlalu banyak mendengar kabar mengejutkan.”

Mereka sama-sama terdiam, hanya mendengar suara embusan napas masing-masing.

“Apa terlalu cepat, ya, saya kasih tahu Ibu semuanya? Tadi Ibu memang kelihatan syok banget.”

“Udah nggak apa-apa. Justru kalau makin ditunda takutnya malah makin runyam. Belum lagi situasi tadi, nggak mungkin kalau kamu nggak cerita juga.”

Gani mengangguk seolah Mahesa bisa melihat gerakannya.

“Udah malam. Kamu tidur, ya. Jangan banyak pikiran. Hari ini juga hari yang melelahkan untuk kamu.”

Gurat senyum Gani kembali tercetak. Setiap kata yang terucap dari Mahesa mampu membuatnya merasa tenang.

Dari kejauhan, Mahesa bisa melihat sosok Papa sedang berdiri di seberang kolam renang tempatnya bertelepon ria. Papa seperti menunggunya untuk bicara, itu yang bisa Mahesa tangkap dari gestur Papa yang hanya diam menatapnya saja.

“Kamu istirahat, ya, jangan terlalu capek. Besok saya telepon lagi.”

Mahesa balik memandang Papa setelah menyudahi acara teleponnya dengan Gani seakan berkata kalau dia sudah siap untuk bicara. Papa akhirnya berjalan mendekat setelah memastikan Mahesa selesai berurusan dengan gawainya.

“Sa, Papa bukannya mau atur hidup kamu, tapi Papa cuma nggak bisa membayangkan bagaimana nasib kamu ke depannya kalau rumah tangga yang kamu bangun tidak ada kehadiran seorang anak.”

“Aku capek harus bahas soal ini terus, Pa.” Nada suara Mahesa sudah meninggi.

“Mumpung hubungan kamu belum terlalu jauh sama dia, sebaiknya kamu pikirkan lagi matang-matang. Penyesalan itu selalu datang di akhir, bukan di awal.”

“Keputusan aku sudah bulat dan Papa nggak bisa mengubah itu. Aku sudah katakan bahwa tujuanku menikah adalah karena ingin hidup bersama orang yang aku cintai. Masalah anak itu nggak terlalu aku pikirkan. Ada atau nggak ada anak bukan tujuan utamaku, karena tujuanku hanya ingin hidup bersama dia, menua bersama dia, dan selalu ada di samping dia. Papa ngerti nggak, sih?”

“Papa paham kalau saat ini kamu lagi bahagia karena akhirnya bisa bersama dia setelah sekian tahun berpisah, jadi kamu masih belum bisa berpikir jernih. Nanti kalau kamu sudah tenang, tolong pikirkan baik-baik apakah bersama dengan perempuan yang tidak bisa memberi kamu anak adalah jalan terbaik untuk hidup kamu.”

Mahesa mengepalkan tangan sebagai penyaluran emosi. Dia sakit hati setiap kali mendengar bahwa Gani adalah gadis yang tidak bisa mempunyai keturunan dan dipandang cacat oleh Papa. Di matanya, Gani itu sempurna. Tidak ada yang bisa membantahnya walau itu papanya sendiri.

A Love to Her (Sekuel A Love to Him)Место, где живут истории. Откройте их для себя