02. Tiga Tahun Lalu

144 9 0
                                    

“Masih betah aja nungguin sunrise, nggak bosan apa?” tegur Satria yang nampak masih mengantuk. Dia menguap beberapa kali.

“Kalau kamu bosan ngapain ke sini? Tidur aja lagi, nggak ada yang nyuruh ke sini juga, kan,” jawab Gani yang tak mengalihkan pandang dari objek di depannya.

“Ya, aku, kan, khawatir sama kamu, subuh-subuh sendirian di sini. Mana dingin banget lagi udaranya.” Satria melipat tangan di dada untuk menghangatkan tubuhnya.

Mereka berdua sedang berdiri di rooftop hotel di Kota Makassar. Sebagai CEO dari Bentala Publisher yang selalu menemani Gani ke acara-acara terkait novelnya yang sedang best seller, Satria mulai mengenal kebiasaan unik Gani yang menunggu datangnya sunrise di setiap kota yang mereka kunjungi. Gadis yang telah satu tahun bernaung di bawah penerbitannya itu selalu terlihat sendu jika sudah melihat geliat sang surya menyinari alam raya setiap pagi harinya.

“Tiap nemenin kamu lihat sunrise, aku sampai lupa nanya kenapa kamu lebih suka sunrise? Bukannya sunset lebih eksotik buat dilihat?” tanya Satria lagi.

Pandangan Gani sejenak teralih padanya. Namun, saat semburat keemasan mulai membias di langit Makassar, mata gadis itu kembali tertuju ke depan. Sekali lagi, Satria bisa melihat tatapan sedih dari mata Gani yang perlahan tersinari cahaya jingga dan ada setitik luka yang coba gadis itu sembunyikan darinya kala mahakarya Sang Pencipta sedang tersuguh di hadapan mereka berdua.

Sunrise itu cahaya pertama yang kita lihat di pagi hari, sinar murninya sanggup menghangatkan hati. Pemandangannya sanggup menggugah mata yang masih terlelap untuk bangun dan ikut menikmatinya tanpa ada kata bosan. Kehadirannya langsung mampu mencerahkan dunia yang sebelumnya gelap gulita.” Usai berkata begitu, Hani tersenyum pahit.

“Puitis banget, sih, kamu. Mentang-mentang penulis best seller sekarang,” sindir Satria.

Gani nyengir. “Nggak, kok, tadi bercanda. Cuma penasaran aja penampakan sunrise setiap kota pasti beda-beda. Baik itu suasananya, nuansanya, bahkan auranya.”

“Tapi emang benar, sih, sering nemenin kamu lihat sunrise bikin aku juga lama-lama jadi suka. Sunrise itu emang indah banget, sih, layak untuk ditunggu,” tukasnya lagi.

Gani melirik sosok pria berkacamata di samping. Dia terpaku mendengar ucapan Satria tentang sunrise yang layak ditunggu. Kepala gadis itu tertunduk, hatinya tersentil oleh Satria. Selama ini, dia sudah lelah menunggu. Menunggu 'matahari terbitnya' datang suatu hari dan kembali menyinari ruang hati yang selama ini gelap dan hampa sejak ditinggalkan tiga tahun yang lalu.

Sudah tiga tahun rupanya, bisik hatinya lirih.

“Kamu sampai kapan mau tetap di sini? Mataharinya udah tinggi, tuh. Turun, yuk! Sarapan.” Tepukan Satria di bahunya membuyarkan lamunan Gani barusan.

Dia lalu mengangguk dan mengekor di belakang Satria untuk turun dan sarapan bersama setelah terlebih dahulu menyempatkan untuk melihat matahari terbitnya itu sekilas.


***


Namanya Satria Pandu Dirgantara, seorang CEO muda berbakat di sebuah kantor penerbitan ternama. Bermula dari kekagumannya membaca artikel yang Gani tulis di Majalah AdvenTourist membuatnya tertarik akan sosok Gani. Dan secara kebetulan pula, naskah novel yang terkirim ke meja redaksi saat itu adalah naskah Gani yang membuat Satria tak perlu pikir panjang menerima naskah itu untuk diterbitkan dalam bentuk buku.

Saat pertemuan untuk membahas mengenai kelanjutan novelnya, Gani sempat menolak menerbitkan karena dia tidak merasa pernah mengirimkan naskah yang ditulis dengan asal-asalan itu ke alamat penerbit. Jika bukan karena ibunya yang tidak sengaja membaca tulisan lama itu di laptop dan mengirimkannya ke kantor Satria, mungkin saat ini Gani masih belum banyak dikenal orang sebagai penulis novel best seller.

A Love to Her (Sekuel A Love to Him)Where stories live. Discover now