03. Menunggu Ketidakpastian

103 7 0
                                    

Setelah sampai, Gani mengajak Satria untuk mampir dulu ke rumah sekadar melepas lelah. Apalagi, perjalanan udara dari Makassar-Jakarta plus menjadi sopir dadakan bagi Gani tentu membuat Satria butuh setidaknya teh, kopi dan beberapa camilan.

Di rumah, Gani mendapati Adinda yang tak lain adalah kekasih Dewa sedang membantu Ibu menyiapkan makan malam. Dewa dan Dinda sudah berpacaran sejak awal kuliah. Keduanya memang sudah kenal dan akrab sejak bangku sekolah, tapi baru berpacaran setelah sama-sama kuliah di jurusan Teknik Arsitektur.

Ibu terlihat begitu antusias menyambut kedatangan Satria yang bersedia mengantar Gani pulang. Tanpa ragu Ibu langsung menyeret Satria ke meja makan untuk ikut makan malam bersama. Tadinya cowok itu menolak. Namun, bukan Ibu namanya jika menyerah begitu saja. Dengan segala macam bujuk rayu akhirnya Satria tak tega juga menolak dan ikut bersantap malam bersama keluarga Gani.

Melihat kemesraan Dewa dan Dinda yang makan sambil cekikikan berdua malah membuat Gani dan Satria dilanda kecanggungan. Mereka salah tingkah sendiri menyaksikan dua sejoli itu sedang menebarkan aura cinta di sekitar mereka.

Nggak bisa lihat sikon dan tempat apa? Rutuk Gani dalam hati yang terus melototi Dewa dan juga Dinda, tapi dua orang yang sedang dimabuk cinta itu malah cuek dan cenderung tak mengindahkan tanda peringatan yang Gani kirimkan.

“Kalian, tuh, kalau makan bisa diam nggak? Sekarang kita lagi makan, bukan waktunya buat cekikikan. Ganggu orang makan aja.”

“Santai, dong, Kak. Makanya cari pacar sana biar nggak sirik,” balas Dewa setengah menyindir.

“Apa kamu bilang? Coba diulang!” titah Gani yang sangat tak suka dengan kalimat Dewa tadi.

Shuut, Gani, nggak baik bertengkar di meja makan. Apalagi ada Satria, tuh.” Ibu menengahi. “Maaf, ya, Sat.”

“Nggak apa-apa, Tante,” jawab Satria canggung dan melanjutkan makan dengan kikuk.

“Ngomong-ngomong, Satria udah punya pacar atau tunangan?”

Senggani mendelik tajam. “Ibu apaan, sih? Nggak sopan tahu.”

“Lho, Ibu cuma tanya. Mencairkan suasana aja. Nggak apa-apa, kan, Satria kalau Tante tanya begitu?”

Satria tersenyum dengan canggung. “Nggak apa-apa, kok, Tante. Saya masih single.”

“Oh, terus mama kamu apa nggak bawel kayak Tante gini?”

“Mama juga udah sering tanya, sih, tapi kalau memang belum ketemu jodohnya, ya, apa boleh buat.”

“Tuh, kan, bukan cuma Ibu aja yang cerewet soal beginian. Semua orang tua pasti ingin lihat anaknya bahagia dengan pasangannya. Coba kalau kamu juga punya pacar, nggak akan kena sindir kamu sama Dewa.”

“Kenapa kalian nggak pacaran aja berdua?” celetuk Dewa yang tidak bisa membaca situasi dan kondisi.

“Boleh juga idenya, Wa. Menurut kamu gimana, Sat?” Ibu terprovokasi.

Satria lagi-lagi hanya bisa tersenyum rikuh dan bingung untuk menjawab. Tatapan Ibu yang tak mau lepas darinya dan seolah menuntut jawaban akhirnya membuat Satria mau tidak mau harus menyuarakan pendapatnya juga.

“Kalau saya terserah Gani aja maunya gimana.”

“Kenapa nggak dicoba aja dulu?”

Suara sendok yang berdentang nyaring di atas piring Gani membuat Ibu terinterupsi dan akhirnya berhenti memojokkan Satria. Wajah laki-laki itu terlihat lega karena sudah tidak ada yang mewawancarainya lagi. Dia meraih gelas berisi air putih dan diminumnya hingga tandas.

A Love to Her (Sekuel A Love to Him)Место, где живут истории. Откройте их для себя