44. Maaf Terakhir

131 13 4
                                    

Sejoli yang masih dimabuk asmara itu memutuskan untuk kembali naik ke puncak bukit dan menyaksikan sunrise bersama seperti rutinitas yang sering Gani lakukan saat Mahesa masih pergi menjelajah dulu.

Berdiri menatap lautan lepas dan memeluk kekasihnya dari belakang sambil sesekali menciumi puncak kepala gadis itu sudah membuat Mahesa amat bahagia dan bersyukur dengan segala kebaikan Tuhan padanya. Bagaimana tidak, penantian super panjang hingga bertahun-tahun lamanya untuk bisa merengkuh Gani dalam pelukan, akhirnya terbayar tuntas hari ini. Dalam Hati, Mahesa berjanji bahwa dia tidak akan lagi menyia-nyiakan kesempatan yang sudah Tuhan hadiahkan.

Dia akan menjaga dan mencintai Gani seumur hidupnya. Gadis istimewa yang untuk mendapatkannya saja Mahesa harus rela menempuh jalan terjal berliku penuh ujian kesabaran dan pengorbanan. Kurang berharga bagaimana lagi Gani di matanya? Gadis itu teramat sangat berharga hingga untuk menyakitinya saja Mahesa tak sampai hati. Akan dia jaga dengan sepenuh hati gadis yang selama bertahun ini terus bersemayam dalam hati dan enggan dia lupakan. Gadis yang tetap melekat dalam pikirannya hingga membuat Mahesa nyaris gila. Gadis yang mampu membuat dia jatuh hati sampai tenggelam dalam gelombang ketidakwarasan logika.

Seberkas warna emas perlahan muncul di ufuk Timur. Tak berapa lama sang penguasa siang mengintip dari kejauhan dengan malu-malu, seolah tahu bahwa dua orang yang menanti kehadirannya sedang dinaungi dewa asmara.

“Kita pulang ke Jakarta, yuk!” bisik Mahesa tepat di telinga Gani begitu matahari sudah mulai naik.

Gani langsung membalikkan badannya dan menatap lurus manik mata lelaki itu.

“Nggak kangen sama orang rumah?” tanya Mahesa lagi.

Gani menggeleng lemah. “Saya belum siap untuk pulang.”

“Kasihan ibu sama adik kamu di Jakarta, mereka pasti cemas karena kamu nggak juga ngasih kabar.” Mahesa membelai rambut Gani dengan lembut tanpa ada rasa malu-malu lagi.

“Iya tahu, tapi saya masih bingung gimana cara ngomongnya.”

“Saya akan temani kamu ketemu mereka. Kalau perlu saya juga yang akan jelaskan tentang hubungan kita berdua.”

“Ini nggak segampang yang kamu bilang, Sa. Bisa kamu bayangin gimana reaksinya Ibu kalau tahu soal kita? Belum lagi soal pembatalan pernikahan dari Satria? Terus soal penyakit? Gimana bisa kamu bicara langsung tentang semua itu sama Ibu? Dia pasti syok banget.”

Mahesa menyadari bahwa semuanya tidak segampang yang dibayangkan, langsung mendekap Gani. Dia paham beban yang Gani pikul lebih berat darinya.

“Maaf, ya, saya nggak paham situasi kamu.”

“Kamu juga nggak hidup sendiri, Sa. Kamu nggak bisa memutuskan semuanya seenak kamu.”

Mahesa paham maksud ucapan Gani. Pelukannya melonggar dan terlepas. “Kalau yang kamu maksud orang tua saya, kamu nggak usah takut. Saya yang akan bicara sama mereka.”

Gani menggeleng. “Kamu lupa alasan apa yang membuat Satria akhirnya pergi ninggalin saya?”

“Orang tua saya bukan orang tua Satria. Mereka berbeda dan saya bisa pastikan itu.”

“Saya cuma takut apa yang Tante Salma lakukan akan terjadi lagi.”

Sangat terlihat jelas ketakutan yang Gani rasakan terpancar dari sorot matanya. Bagaimanapun mendapat perlakuan tak terduga dari orang yang selama ini begitu baik dan menyayanginya tentu amat membekas di ingatan dan Gani tidak mau apa yang pernah dia alami terulang lagi yang kali ini disebabkan oleh keluarga Mahesa.

“Pelan-pelan aja, ya, Sa. Kasih saya waktu,” pinta Gani yang sedang tidak mau memusingkan diri dengan masalah. Dia hanya ingin menikmati rasa bahagia yang sekarang sedang menghinggapinya.

A Love to Her (Sekuel A Love to Him)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang