16. Yang Belum Usai

69 6 0
                                    

Yang bisa Gani lakukan sekarang hanya mengutuk dirinya sendiri. Kenapa dia bisa sebodoh dan seceroboh itu hingga membuat Mahesa bisa dengan leluasa mendengarkan semua percakapannya dengan Linera? Bukan tidak mungkin lelaki itu kini merasa di atas angin sekarang. Gani terus mondar-mandir di depan meja riasnya sambil memikirkan cara supaya hari ini dia tidak usah bertemu dengan Mahesa. Mau ditaruh di mana mukanya jika sampai Mahesa kembali membahas soal apa yang dia dengar di telepon tempo hari.

Sudah beberapa hari ini dia berusaha menghindar sebaik mungkin dari lelaki itu. Mencoba terus mencari alasan yang masuk akal agar tidak bertemu dan bertatap muka dengan Mahesa. Kemarin saja saat Satria mengajaknya untuk memantau perkembangan kafe yang sudah hampir delapan puluh persen selesai, Gani mati-matian beralasan lembur kerja. Dia tahu Satria pasti akan kembali bertemu dengan Mahesa di kafe.

Sebelumnya, Gani juga mencari cara agar keterlibatannya dalam project volunteer kali ini dibatalkan dengan memberitahu Satria bahwa dia akan pergi ke NTT bersama Mahesa dan tim. Ekspektasinya soal Satria akan melarang pergi justru malah mendukung Gani untuk kembali berpetualang seperti dulu. Satria yang mulanya merasa aneh karena tiba-tiba Mahesa bisa menjalin kerjasama dengan AdvenTourist, malah berbalik semangat dan mendorong Gani untuk tetap berpartisipasi dalam project ini. Harapan Satria supaya Gani bisa mengakrabkan diri dan lebih mengenal sosok Mahesa lagi agar keduanya menjalin hubungan baik sehingga project buku yang selama ini terus Gani tunda-tunda bisa segera terealisasi.

Dan untuk meeting kali ini pun, Gani masih berusaha mencari alasan supaya dia tidak perlu hadir. Sembari terus mondar-mandir, matanya tertuju pada layar ponsel yang memperlihatkan nomer kontak Mas Rizal. Gani sedang mengumpulkan keberanian untuk berbohong pada bosnya dengan mengatakan kalau dia sakit dan tidak bisa menghadiri meeting kali ini.

Telepon masuk dari Linera.

“Lo udah sampai mana?”

“Gue kayaknya nggak bisa, deh, Lin.”

“Jangan macam-macam, ya! Lo project leader-nya masa nggak hadir, sih?”

“Aduh ... boleh ganti orang aja nggak, sih? Gue nggak sanggup kalau harus ketemu dia lagi,” rengeknya.

“Belaga gila, nih, anak! Pokoknya gue nggak mau tahu lo sekarang juga cepat berangkat supaya meeting kita on time. Gue nggak mau kena semprot Mas Rizal cuma gara-gara lo yang nggak mau ketemu Mahesa.”

“Tapi, Lin—”

“Semua ini terjadi karena kebodohan lo juga, sih. Kalau lo nggak lupa matiin handphone, Mahesa nggak akan dengar semuanya dan kalau bukan karena lo terlalu mengikuti kecemburuan lo yang nggak masuk akal itu, lo nggak akan takut untuk ketemu dia sekarang.”

“Iya, gue salah. Udah, dong, jangan marah-marah lagi.”

“Cepatan berangkat. Gue nggak mau dengar alasan lo terlambat, ya, hari ini!” Linera mematikan ponsel setelah mengultimatum sahabatnya.

Gani mengambil bantal dan membekap wajahnya sekencang mungkin lalu berteriak dengan lantang di balik bantal untuk melampiaskan emosinya pagi itu.


***


Firasatnya benar bahwa setelah mereka bertemu Mahesa bersikap sangat baik dan lembut terhadapnya. Bahkan secara terang-terangan lelaki itu menarik kursi dan membukakan tutup botol air mineral untuk Gani di depan banyak orang yang mengikuti meeting pagi itu. Apalagi tatapan mata yang tak pernah lepas dari Gani diiringi senyumnya yang terkembang sempurna membuat sebagian orang yang berada di ruangan jadi terheran-heran.

Mahesa terlihat sangat sengaja membuat Gani merasa tidak nyaman kali ini dengan sejumlah perhatian-perhatian kecil yang lelaki itu lakukan padanya. Menghadiri rapat kali ini memanglah ide yang buruk, tapi Gani tidak bisa menghindarinya karena ini bukan hanya pertemuan intern antara tim AdvenTourist saja, tapi juga melibatkan para relawan Dharmapala yang akan ikut bertugas nantinya. Sebagai project leader dari AdvenTourist mana mungkin dirinya tidak hadir?

A Love to Her (Sekuel A Love to Him)Where stories live. Discover now