22. Basira Bercerita

74 5 0
                                    

Setelah melalui perjalan dari Bandara El Tari Kupang menuju Bandara Gewayantana, rombongan anak muda yang datang membawa misi kemanusiaan itu akhirnya tiba di tanah Larantuka. Cuaca panas dan kering Gani rasakan langsung menyergap ubun-ubun. Sebagai orang Jakarta yang terkenal akan polusi dan panasnya cuaca di Ibukota, rasanya cuaca di Larantuka melebihi yang biasa Gani rasakan di rumahnya sendiri.

Dua buah mobil pick up bak terbuka terlihat sudah siap di halaman parkir bandara. Beberapa orang nampak terkejut karena mobil jemputan yang akan mengantarkan mereka ke lokasi bukan seperti yang ada dalam bayangan. Dengan cuaca sepanas ini, bukan mobil ber-AC dingin yang mereka dapatkan melainkan pick up yang biasa dijadikan angkutan sayur-mayur, jambu mete atau hasil tani lainnya lah yang akan menjadi moda transportasi mereka untuk sampai di Desa Patisirawalang sang batok kepala burung Flores Timur.

Kenyataan pertama yang harus mereka hadapi sebelum menyaksikan kenyataan-kenyataan lain yang akan banyak mereka temui sepanjang perjalanan menuju Kampung Basira yang masih terisolir dari dunia.

Mahesa membukakan pintu depan mobil pick up untuk Gani, tapi gadis itu menolak karena merasa tak enak pada timnya yang lain. Masa dia enak-enakan duduk dengan teduh di kursi depan sementara anak buahnya dan tim DMB yang lain harus berpanas-panas di belakang.

“Yakin?” tanya Mahesa sekali lagi begitu Gani mengatakan akan ikut duduk di belakang bersama yang lain.

“Iya, nggak apa-apa. Kasihan Rana sama yang lainnya, apa kata mereka kalau saya duduk di depan.”

Mahesa terlihat berpikir. “Gini aja, kamu sama Rana duduk di depan. Biar yang cowok di belakang.” Mahesa masih tidak tega membiarkan Gani duduk di bak belakang.

“Memang sempit, sih, tapi daripada di belakang, kan?” lanjutnya lagi.

Setelah berbicara dengan sopir dan mendapat persetujuan dari yang lain akhirnya diputuskan Rana dan Gani duduk di kursi depan, sedangkan para laki-laki kebagian bak belakang. Untuk pick up kedua, terlihat Lintang yang duduk di kursi depan bersama seorang volunteer perempuan dari DMB.

Rombongan akhirnya berangkat dengan membelah jalanan aspal yang mulus dengan pemandangan memanjakan mata. Di sisi jalan pesisir pantai tersaji hamparan laut lepas dengan ombak yang menghempas hingga badan jalan cukup membuat segar mata di tengah teriknya matahari NTT. Namun, setelah sekitar tiga jam perjalanan rombongan mulai disambut jalur jalan tanah yang berbatu besar. Mulai mereka rasakan siksaan demi siksaan saat melewati medan berat di sana. Apalagi menurut sopir, kemarin habis turun hujan menyebabkan jalanan jadi berlumpur dan makin mempersulit perjuangan mereka untuk sampai ke Basira.

Tak jarang Gani maupun Rana berteriak saat mobil terguncang-guncang karena jalanan menanjak dengan bebatuan lepas dan di sebelahnya terdapat tebing terjal menyambut mereka yang tidak ekstra hati-hati. Pada titik ini, mereka memutuskan untuk turun dan berjalan kaki karena merasa tidak sanggup berada terus di dalam mobil dengan kondisi jalan yang seekstrim itu.

Untuk sesaat tadi, Gani merasakan nyawanya sudah di ujung tanduk. Jika tidak berpegangan dengan erat, salah sedikit dia sudah berbeda dunia dengan yang lain. Sembari berjalan kaki dengan kondisi jalan yang terus menanjak seperti mendaki gunung, lelah yang dirasakan fisik dan hati amat menghujam membuat air mata Gani meleleh karena tak kuat menahan guncangan ketakutan yang tadi dia rasakan. Dia sangat takut jika tadi sopir benar-benar tidak pandai mengendalikan laju roda mobil bagaimana nasibnya dengan anak buahnya? Kenyataan kedua yang harus mereka hadapi lagi bahwa akses jalan menuju Basira memang seberbahaya ini menjadi bukti kenapa Basira amat terisolasi. Ketika itu Gani amat merindukan rumah. Otaknya dipenuhi dengan pikiran bagaimana caranya dia pulang jika jalur yang harus dilewati seperti ini. Tiba-tiba Gani menyesal karena sudah bersedia ikut kemari.

A Love to Her (Sekuel A Love to Him)Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz