33. No More Secret

107 10 3
                                    

Setelah pertengkaran mereka di kantor tempo hari, kini Gani memberanikan diri untuk datang menemui Satria di rumahnya karena sejak saat itu, Satria selalu menghindar. Jika Gani datang ke kantor, Satria selalu tidak ada. Di kafe pun sama saja. Saat coba ditelepon, laki-laki itu selalu enggan menjawab telepon darinya.

Gani merasa ini sudah saatnya bagi mereka untuk bicara dengan kepala dingin. Jangan ada drama kabur-kaburan lagi seperti anak kecil, karena itu tidak akan menyelesaikan masalah sampai kapan pun.

Pintu dibuka setelah cukup lama Gani mengetuk. Sosok asisten rumah tangga Satria berdiri di seberang pintu dengan senyum ramah terkembang sambil mempersilakan Gani untuk masuk.

“Satria ada?”

“Ada di kamar,” balasnya

“Kalau Tante Salma?”

“Lagi ke rumah sakit untuk check up rutin, diantar suster tadi.”

“Oke. Saya langsung ke kamar Satria, ya.”

Gani melangkah menuju kamar Satria yang tertutup rapat. Setelah mengetuk pintu, dia membukanya perlahan dan mendapati Satria masih tertidur lelap di kasur.

Melihatnya membuat Gani tidak tega untuk membangunkan Satria yang terlihat sangat nyenyak itu. Gani duduk di tepi ranjang dan mengelus rambut Satria dengan sayang. Banyak yang ingin dia katakan. Kata maaf menjadi kata yang paling banyak ingin dia sampaikan pada Satria. Gani mengecup kening Satria lama sebagai bentuk rasa cinta yang dia punya untuk laki-laki itu nyata adanya.

Satria akhirnya terbangun dan sempat kaget mendapati Gani berada di dalam kamarnya. Tangan Satria menggapai nakas untuk mencari kacamata dan memakainya cepat agar memastikan bahwa yang dia lihat benar-benar Gani.

“Hai.”

“Kamu ngapain di sini? Kenapa nggak telepon dulu?” Satria menyingkap selimut dan duduk di samping Gani.

“Kamu, kan, udah beberapa hari ini nggak mau jawab telepon aku. Makanya aku ke sini.”

“Untuk?”

“Untuk beresin masalah kita.”

Satria menyeringai. “Masih ingat kalau punya masalah, kirain udah lupa.”

Satria beranjak dari kamar dan berjalan menuju kulkas untuk mendapatkan air putih.

“Sat, aku ke sini karena pengin masalah kita cepat selesai. Aku nggak mau menunda ini terlalu lama sampai berlarut-larut karena kamu menghindar terus untuk bicara.” Gani membuntutinya sampai ke dapur.

Setelah menandaskan air di gelas, pandangan Satria langsung menyasar ke manik mata Gani.

“Kamu tahu nggak rasanya jadi aku kayak gimana? Wajar aku menghindar karena aku masih perlu waktu untuk bisa menerima semua kebohongan kamu.” Tanpa peringatan Satria sudah meninggikan suaranya.

“Kebohongan apa?”

“Menurut kamu dengan menyembunyikan fakta tentang Mahesa itu bukan kebohongan?”

“Aku nggak bermaksud untuk bohong sama kamu ....”

“Terus apa namanya? Kalau kemarin nggak aku ungkap, kamu juga nggak akan pernah mau jujur sama aku. Iya, kan?”

Tidak seperti bayangannya, pembicaraan dengan Satria yang harusnya berlangsung dengan kepala dingin malah makin panas membara dirasakan oleh Gani. Satria belum juga mau menurunkan tensinya bahkan lebih naik dibanding tempo hari. Ini akan menjadi pertengkaran yang lebih melelahkan, itu yang Gani tahu.

“Aku minta maaf karena nggak pernah bisa jujur sama kamu soal Mahesa. Aku cuma berusaha menjaga perasaan kamu, Sat. Aku nggak mau kamu tahu soal dia, karena aku merasa semua hal tentang dia udah basi untuk dibahas. Dan aku pikir kamu udah nggak mau tahu tentang masa lalu aku.”

A Love to Her (Sekuel A Love to Him)Where stories live. Discover now