31. Untuk Sebuah Alasan

79 7 0
                                    

Saya sedang berusaha ikhlas melepas kamu, kok ....

Wajah dan ekspresi Mahesa saat mengucapkan kalimat itu belum juga mau hilang dari ingatan Gani. Betapa merananya seorang Mahesa kala itu membuat Gani mau tak mau merasa bersalah dan tak bisa berhenti memikirkan tentang lelaki itu. Apalagi soal ciuman mereka yang terus membayangi pelupuk mata dan seolah tak mau enyah dari benak makin memicu Gani dilanda stres, ditambah desakan Satria yang ingin memajukan tanggal pernikahan secepatnya.

Semenjak pulang dari Larantuka, Satria berubah menjadi lebih protektif dan posesif terhadapnya. Laki-laki itu menjadi lebih penuntut dan selalu mendesak Gani untuk segera mengurus pesta pernikahan mereka berdua. Bagaimana Gani tidak stres dengan semua tekanan dalam hidupnya?

Akibatnya, berdampak pada pekerjaan dan korbannya siapa lagi kalau bukan juniornya sendiri. Sudah sekian orang junior yang kena omel dan ceramah panjang lebar dari Gani yang mengkritik hasil tulisan mereka. Selalu ada saja yang terasa kurang dari artikel yang Gani baca dan itu membuat para juniornya harus kerja lembur demi menyelesaikan artikelnya masing-masing yang sudah dikejar deadline.

Pintu ruang meeting dibuka Linera ketika mendengar Gani sedang memarahi seseorang lewat telepon.

"Pokoknya saya minta kamu rubah! Nggak ada alasan lagi, saya minta malam ini juga. Ya, itu urusan kamu, saya nggak mau tahu dan saya nggak mau mundurin deadline-nya. Mau lembur mau nggak bukan urusan saya, yang saya mau tulisan kamu harus sampai ke meja saya malam ini juga. Titik!"

Gani mengentakkan ponselnya ke meja dan membanting tubuh ke sandaran kursi sambil memegangi keningnya. Penat.

Linera mengetuk pintu dan membuat Gani menoleh. Cewek itu akhirnya masuk setelah menutup pintu dan duduk di kursi seberang meja.

"Muka lo kusut amat."

"Gimana nggak kusut, kalau tulisan Rana kacau kayak gini!" Gani membalik laptop miliknya dan membiarkan Linera membacanya.

"Salahnya di mana? Ini oke, kok."

"Oke dari mana? Lo bacanya yang benar, dong! Tulisan receh kayak gini mau jadi headline. Sia-sia, dong, berangkat jauh-jauh ke Larantuka kalau ujung-ujungnya cuma tulisan sampah yang dimuat."

Linera memperhatikan Gani sejak tadi. "Beib, lo sadar nggak, sih, kalau akhir-akhir ini lo sering uring-uringan, marah-marah nggak jelas gitu?"

"Uring-uringan nggak jelas gimana?" tanpa disadari suara Gani meninggi dengan sendirinya.

"Ya, itu pandangan sama pendapat anak-anak tentang lo. Mereka bilang kalau akhir-akhir ini lo jadi galak, angker, terus ..." Linera berhenti bicara karena tatapan Gani yang amat menusuk. "Nggak asik lagi." Linera akhirnya menamatkan kalimatnya.

"Perasaan gue biasa aja. Mereka aja kali yang terlalu sensitif. Baru dikritik dikit aja udah baper, gimana mau maju?" gerutu Gani sambil melipat tangan di dada.

"Tapi bukan cuma anak-anak aja yang ngerasa gitu, gue juga ngerasa kalau lo memang lebih suka sewot dibanding biasanya."

"Really? Lo juga? Lin, come on!"

"Dan itu gue rasain semenjak lo pulang dari Larantuka."

Gani langsung mengunci rapat mulut seketika.

"Ada yang belum lo ceritain sama gue tentang Larantuka?" todong Linera.

"Maksudnya?"

Linera terlebih dahulu mengangkat kedua bahunya. "Ya, siapa tahu ada kejadian di Larantuka yang membuat lo jadi cranky begini? Jujur aja, ya, gue dapat aduan dari anak-anak tentang lo. Mereka ngeluh karena nggak ada satu pun tulisannya yang lo approved dan gue harus nunggu sampai berapa lama lagi supaya artikel tentang Basira bisa rilis? Cuma project lo doang yang mandek. Kita udah mau naik cetak minggu depan, lho. Dan ingat project lo itu akan jadi headline kita."

A Love to Her (Sekuel A Love to Him)Where stories live. Discover now