01. Prolog

240 11 1
                                    

Makassar, tiga tahun lalu ....

“Oke, ada lagi yang mau bertanya? Ini untuk pertanyaan terakhir, karena mau lanjut sesi tanda tangan.” MC atau master of ceremony mempersilakan sejumlah orang yang duduk di hadapannya untuk bertanya.

Tidak seantusias pertanyaan-pertanyaan sebelumnya, kali ini jumlah orang yang mengangkat tangan hanya ada tiga orang saja. Mungkin karena rasa penasaran sebagian dari mereka sudah terjawab dari sesi tanya jawab acara bedah novel kali ini.

Sang MC menunjuk seorang wanita muda yang terlihat begitu antusias untuk bertanya sampai membuat dirinya lebih menonjol dari yang lain dengan melompat-lompat agar terlihat oleh ketiga orang yang sedang duduk di atas mini stage di sudut sebuah toko buku terbesar di Kota Makassar yang memang diselenggarakan atas kerjasama antara pihak toko buku dan penerbit.

“Iya, silakan Mbak yang pakai baju putih.”

Seorang panitia acara menyerahkan mikrofon pada si penanya agar suaranya bisa terdengar oleh sang narasumber.

“Mbak Dara Derana, saya penasaran apakah tokoh Senja dan Kala di novel Mbak ini terinspirasi dari sosok nyata atau kisah novel SenjaKala ini memang berdasarkan kisah nyata? Terima kasih.” Si penanya menyerahkan kembali mikrofon ke panitia dan duduk menunggu pertanyaan yang sejak tadi membuatnya penasaran segera dijawab oleh sang penulis kisah yang membuatnya tergila-gila itu.

“Wow, pertanyaan yang pasti membuat semua orang yang hadir di sini ikut penasaran juga termasuk saya sendiri. Apa memang benar ada sosok nyatanya?” tanya MC yang mengulang pertanyaan salah satu penonton tadi. Rupanya dia juga ikut penasaran.

Sang MC mempersilakan gadis yang duduk di sampingnya untuk mulai menjawab pertanyaan yang diajukan. Gadis yang menempatkan dirinya sebagai narasumber acara bedah buku kali ini mulai mengangkat mikrofon yang tergeletak di atas meja perlahan.

Ini bukan acara bedah novel pertama baginya. Sudah lima kota yang dia datangi untuk acara yang sama dan hampir selalu serupa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para pembaca novelnya. Seharusnya dia sudah terbiasa, tapi setiap ada pertanyaan tentang kebenaran di balik fakta sosok nyata tokoh dalam novel itu selalu saja membuatnya tak nyaman.

Dia hampir muak dengan pertanyaan yang terus-menerus diajukan padanya. Dia menyeringai tipis yang hampir tak terlihat dan dengan tanpa keraguan gadis itu menjawab dengan suara lantang nan percaya diri.

“Semua fiksi. Apa yang saya tulis di novel ini baik itu tokoh maupun segi ceritanya semuanya fiksi dan hanya karangan saya saja. Tidak ada sosok atau tokoh nyata dibalik semua kisah di novel ini,” tegasnya.


***


“Yakin cuma fiksi?” tanya Satria tiba-tiba begitu mobil berhenti tepat di depan zebra cross lampu merah Jalan Metro Tanjung Bunga.

Gani langsung mengangkat wajah dari gawai yang sejak tadi ditekurinya. “Maksudnya kamu nggak percaya sama omongan aku?”

“Bukan cuma sekali ini aja aku lihat ekspresi yang sama waktu kamu jawab pertanyaan terkahir kayak tadi.”

“Ekspresi yang kayak gimana maksudnya? Perasaan aku biasa aja,” elaknya.

“Memang kamu terlihat tenang dan tegas dalam menjawab semua pertanyaan, tapi begitu menyinggung soal tokoh Kala raut wajah kamu berubah dan sorot mata kamu bergetar. Orang lain mungkin nggak lihat, tapi aku yang duduk di sebelah kamu bisa dengan jelas membaca semuanya.”

Keduanya saling terdiam.

“Nggak salah, dong, kalau aku dan pembacamu mengira bahwa tokoh Kala di novel kamu itu bukan sekadar fiksi?” lanjut Satria lagi.

“Itu fiksi. Harus berapa kali, sih, aku bilang?” Gani geregetan sendiri.

“Ya, udah kalau memang dia itu fiksi reaksi kamu nggak usah berlebihan gitu, dong.”

Gani mendelik tajam ke arah Satria dan membuat laki-laki itu tahu kalau aura Gani sedang suram jika terus disinggung soal tokoh fiksi dalam novelnya. Gani melempar arah pandang ke jendela, suasana jalan protokol yang padat kendaraan di sana-sini menjadi pemandangan yang lazim dia temui.

“Kita ke Pantai Losari, yuk! Lihat sunset sambil naik kapal pinisi,” ajak Satria.

Gadis itu hanya melirik sekilas, lalu kembali memandang keluar jendela. “Nggak, ah, aku capek. Mau pulang aja ke hotel. Kamu kalau mau ke pantai sendiri aja, ya.”

Keliling ke beberapa toko buku dalam satu hari tidak hanya melelahkan fisiknya, tapi juga melelahkan hati karena terus-terusan mendapat pertanyaan yang sama. Pertanyaan tentang sosok Kala dan semua yang menyangkut tentangnya membuat emosi Gani terkuras mau tidak mau. Hal yang membuat para pembaca begitu mengagumi dan memuja tokoh Kala membuat Gani tidak suka.

Saat langit beranjak gelap, mata Gani menangkap satu sosok yang sedang menyeberangi jalan tepat di depan mobilnya. Tubuh Gani terangkat dan matanya terus awas mengekori orang yang kini sudah berjalan di pedestrian bersama beberapa pejalan kaki yang lain.

Mungkinkah itu dia? Bisik batin Gani bertanya pada kemungkinan matanya yang bisa saja salah mengenali. Hatinya berkata Gani harus mengejar untuk memastikan, tapi otaknya meyakinkan bahwa dia salah melihat. Begitu Gani akan melepas seatbelt dan ingin berlari keluar, mobil Satria sudah kembali melaju dengan mulus mengantarnya menuju hotel sesuai amanat.


***

A Love to Her (Sekuel A Love to Him)Where stories live. Discover now