04. Hati yang Bertuan

81 6 0
                                    

Tiba kembali di kantor majalah AdvenTourist membuat Gani yang sudah duduk di mejanya nampak belum mau melakukan apa pun. Dia hanya menatap lurus layar laptop yang sejak tadi dibiarkan menyala, sama sekali tidak berminat untuk memulai pekerjaannya. Berstatus sebagai reporter senior saat ini memang membuat Gani menjadi salah satu role model bagi wartawan-wartawan juniornya, Gani pun tak pelit berbagi tips dan ilmu seputar dunia yang sudah dia geluti selama hampir delapan tahun itu.

Gani menyibak rambutnya kasar, dia mulai menegakkan punggung dan sudah siap untuk bekerja sekarang saat mejanya ada yang mengetuk. Itu Linera dengan dua cangkir kopi di tangan. Sebelum duduk, dia meletakkan satu cangkir kopi di meja Senggani dan satu lagi tetap dipegang untuk disesapnya.

“Muka suntuk banget, pasti belum ngopi, kan? Tuh, gue bawain.”

“Udah ngopi, kok, tadi di kantornya Satria,” balas Gani malas-malasan.

“Buku lo naik cetak lagi? Gila, laris banget! Bisa-bisa lo jadi artis beneran sekarang,” seloroh Linera.

Gani langsung melotot jika Linera sudah menyebut dirinya artis hanya karena Gani sering dimintai tanda tangan oleh penggemar bukunya. Gani paling tidak suka penyebutan artis untuknya itu, karena dia memang bukan artis dan sama sekali tidak berniat untuk aji mumpung menjadi selebritis hanya karena dia cukup populer akhir-akhir ini.

“Gue ke sana ada urusan lain, kok.” Gani sengaja tak mau menatap Linera, karena pasti saat ini wajah kepo Linera sedang memelototinya.

“Urusan ap—” pertanyaan Linera terpotong oleh Prima yang menghampiri meja mereka.

“Mbak Gani, maaf ini ada kiriman bunga dari kurir.” Prima menyerahkan sebuket bunga mawar merah pada Gani yang diterima gadis itu dengan ragu-ragu dan masih saling pandang dengan Linera.

“Makasih, ya.” Walau masih penuh tanda tanya, tapi Gani menerimanya juga.

“Dari siapa?” tanya Linera yang terlihat lebih antusias dibanding si penerima.

Gani tak lantas menjawab pertanyaan Linera, dia malah membaca note yang terselip di antara bunga indah itu dan membacanya.

To Senggani

Jangan kaget ya dengan kiriman bunganya. Ini salah satu caraku untuk membuatmu terbiasa denganku.

Lunch?

Satria

Melihat reaksi Gani yang tetap diam, akhirnya Linera merebut paksa note dari tangan gadis itu untuk dibacanya sendiri. Dan betapa heboh reaksi cewek yang masih kurus walaupun sudah pernah melahirkan satu anak itu begitu mengetahui si pengirim bunga adalah Satria.

Oh my God, you don’t wanna tell me something? Or can you explain what is this?” tanya cewek yang sudah mengangkat sebelah alis dan bersilang tangan di dada seolah meminta jawaban detik itu juga.

Gani kembali membanting tubuhnya di sandaran kursi, jari telunjuknya diketuk-ketukkan ke meja seperti berpikir apakah dia harus menceritakan semuanya pada sahabat karibnya itu.

“Ya ... kayak yang lo baca, dia ngajak makan siang.” Gani berusaha memilih jawaban netral daripada harus mengumbar tentang perjodohan yang membuatnya malu.

Linera mencondongkan tubuh lebih rapat ke meja. “Lo jadian sama dia?” tanya Linera spontan dengan tatapan super kepo.

Sejujurnya, Gani sendiri tidak tahu harus menamakan hubungan mereka ini apa. Disebut jadian mungkin bisa diartikan begitu karena tadi pagi mereka berdua sudah sepakat untuk lebih dekat satu sama lain lewat perjodohan itu, tapi ada yang masih terasa mengganjal di benaknya manakala harus menyebut Satria sebagai pacar sekarang. Alih-alih menjawab pertanyaan Linera, Gani malah membenamkan wajahnya di keyboard laptop karena dia sama sekali tak tahu harus menjawab apa.

A Love to Her (Sekuel A Love to Him)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang