Shahnaz menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya, ia melakukan hal itu beberapa kali

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

Shahnaz menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya, ia melakukan hal itu beberapa kali. Setelah keberanian dan keyakinannya terkumpul, dengan tekad kuat Shahnaz memencet bel.

Butuh sekitar satu menit untuk Shahnaz memencet bel itu sekali lagi karena sebelumnya tidak mendapat respon apapun.

"Sebentar!" Sebuah suara yang ia kenal menyahut dari salam sana membuat kegugupan Shahnaz menyeruak kembali.

"—gini nih kalo si Mbak sakit harus apa-apa sendiri—" Gerutu seseorang tadi, kemudian terdengar suara tarikan selot pintu. "Dira..?"

Shahnaz tersenyum kikuk. "Ma.."

Meski dengan kedua alis yang bertaut, Shahnaz dipersilahkan masuk.

Ini pertama kalinya Shahnaz datang kerumah Ibunya.

Dipandu wanita yang melahirkannya. Menuju ruang tamu, Shahnaz harus melewati ruangan kosong seperti lorong.

Sepanjang perjalanan masuk, Shahnaz mencuri pandang pada properti dan pintu-pintu yang ada disana..

Tersenyum getir ketika mengingat bagaimana kehidupan Ibunya sangat berbeda jauh dengannya.

Jika Shahnaz tidak salah hitung, yang ia bisa tangkap rumah ini memiliki kurang lebih lima sampai enam kamar.

Menghitung suami dari Ibunya yang tidak memiliki anak, sebenarnya rumah ini bisa menampung cukup banyak orang.. Tapi mengapa Ibunya meninggalkan Shahnaz dengan Ayahnya? Sedangkan Sagita bisa tinggal dengan nyaman disana.

Sekali lagi, Shahnaz harus menelan pil pahit.
Tertampar fakta jika ia memang anak yang tidak pernah diharapkan oleh Ibunya..

"Duduk, Dira. Jadi, angin apa yang bawa kamu kesini?"

Shahnaz mengambil tempat duduk di sofa tunggal, bersebrangan dengan sang Ibu. "Dira.. Em.." Gugup yang kembali datang membuatnya seketika blank, lupa apa yang harus ia katakan.

Mengalihkan kepanikan, ia menggigit-gigit kecil bibir bawah serta tangannya gemetar memutar-mutar cincinnya seolah meminta kekuatan disana.

Semua tingkah laku putri sulungnya itu tidak luput dari perhatian sang Ibu. Mata Ibunya seketika terarah pada cincin yang diputar-putar Shahnaz.

"Oh, kamu mau pamer cincin baru? Ha?" Sinis wanita paruh baya itu, menyilangkan tangan didepan dada.

Mengabaikan ucapan sang Ibu, Shahnaz menarik nafas panjang. "Radit lamar Dira kemarin."

Berdecak, Ibunya kini menyilangkan kaki, bersandar pada sofa berujar santai. "Saya nggak restuin kalian." Tegasnya. Kali ini mengangkat tangannya ke udara, memperhatikan kukunya yang baru dipoles.

Shahnaz mengangguk, "Dira udah tau." Jawabnya. Menelan ludah, mengulas senyum terpaksa. "Dira cuma mau kasih info ke Mama barangkali Mama mau tau kabar anak sulung Mama. Karena dengan atau tanpa restu Mama nggak nyurutin kebahagiaan Dira sama Radit."

Kali ini Ibunya tertawa terbahak-bahak bahkan setitik air mata muncul dari ujung matanya. Seolah yang dikatakan Shahnaz adalah lelucon terlucu yang pernah wanita itu dengar. Sang Ibu mengulas senyum meremehkan, "Dira.. Dira.. Kamu pikir kamu ini siapa? Memang kamu pikir Papa kamu mau jadi wali nikah kamu, hah?"

Sekarang kegugupannya hilang tidak bersisa, melihat sang Ibu meremehkannya membuat Shahnaz marah, ia ingin menghapus senyum menyebalkan itu dari bibir Ibunya. "Dira udah telepon Om Rahman..—"

"Papa kamu masih hidup!" Teriak Ibunya geram.

Shahnaz mengangguk tersenyum, "Dira belum hilang ingatan.."

"Lantas apa yang buat kamu mikir kamu dan Radit bisa menikah?!"

Mengeluarkan sebuah amplop dari tasnya, Shahnaz mendorong amplop itu ke hadapan Ibunya. "Hasil pemeriksaan Papa."

Amplop yang baru Shahnaz terima tadi pagi dari petugas dinas sosial. Amplop yang merubah niatnya.

Tadinya meski ada keinginan untuk bertemu dengan Ibunya, Shahnaz membuang pemikiran itu karena ingat apa yang dikatakan Jennie. Hasil dari bertemu Ibunya sudah bisa Shahnaz tebak, untuk apa Shahnaz menyiksa dirinya sendiri dengan bertemu sang Ibu?

Tapi hasil dari amplop itu membuatnya berubah pikiran. Ia ingin menyaksikan sendiri kekalahan Ibunya didepan matanya.

Jadi sebelum Radit menjemputnya nanti sore, siang ini ia memutuskan bertandang ke kediaman suami Ibunya. Dan disinilah ia sekarang.

Ibu Shahnaz ragu-ragu membuka amplop itu, menarik kertas didalamnya.

"Karena hasil itu, Papa kehilangan hak jadi wali nikah Dira."

mau tamat ni yee xixixi *senyum malu-malu*

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

mau tamat ni yee xixixi *senyum malu-malu*

INVISIBLE STRING | WONWOO X LISA [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora