Shahnaz menyambangi unit Jennie dengan lengan yang memar dan bengkak di kedua pipinya.
Bahkan jika ditelisik, ujung bibir wanita itu sedikit robek, membuat Jennie yang saat membuka pintu melihat kondisi sahabatnya, langsung dilanda kepanikan. Jennie takut Shahnaz mengalami perampokan atau hal buruk lainnya.

Tetapi, setelah mendengar cerita sahabatnya itu, kekhawatirannya berubah menjadi kekesalan luar biasa yang menjalar sampai ubun-ubun.

Ayah Shahnaz itu tanpa perlu dipancing pun, ia bisa tiba-tiba memukuli Shahnaz tanpa ampun.

Sekarang, sudah tahu Ayahnya seperti itu..
Anak kesayangan Ayahnya malah Shahnaz hujat ternag-terangan didepan mata. Ya, apa ga abis tuh mukanya ditampar bolak-balik kanan kiri?! Badannya ditonjokin sama ditendang?! Untung bisa ditangkis jadi cuma tangannya aja yang memar. Hadeuh, ini mah salah Shahnaz yang ngundang maut, Jennie menggerutu kesal dalam hati.

"Gue kira tuh gak akan ada kasus kayak gini lagi. Eh taunya, malah karena lo yang ngundang. Badan sama muka lo kalo ga bonyok-bonyok tuh, kudisan apa gimana, 'sih, Naz? Seneng amat cari perkara sama orang gila! Otak lo tuh sebenernya ada isinya, gak sih?!"

Shahnaz mengangguk, "Ada. Otak sama hati gue isinya Radit, Jen. Udah penuh, sih, tapi gue bisa sisain di ujung bangettt. Kalo mau ikut ngisi, ijin dulu ke Radit." Jawab Shahnaz santai, membuat Jennie langsung menekan luka di pipi Shahnaz dengan sedikit lebih keras. "JEN!" Bentak Shahnaz, ia langsung mengusap pipinya karena kesakitan.

"Anjing lo ya! Bisa-bisanya jawab begitu!"

Shahnaz menghela nafas berat, "Gue jawab jujur."

Meletakkan kotak obatnya, Jennie melempar senyum sinis. "Itu kalo ga ada Om lo, kayaknya udah abis tuh senyawa-nyawa."

"Gue tuh, kesel, Jen.. Gue yang mau ijin kawin, malah Sagita yang diusap kepalanya. ditanya lemah lembut, "Gimana progress perjodohan Dila yang kemaren?" Eh malah gue dicuekin gitu aja! Mana liat muka angkuhnya Sagita kayak seneng banget liat gue baru menang bentar, udah kalah lagi. Kan gue sakit hati.." Lirih Shahnaz.

Jennie sebenarnya mengerti dan sedikit kasihan, tetapi tetap saja!

"Ya sakit hati tuh liat-liat kaliii! Lo mau bales ke Sagita aja, jangan depan Papa lo! Bapak lo itu bukan orang waras, Naz. Ga perlu lo pancing begitu, lo pikir nyawa lo sembilan, hah?!" Umpat Jennie lagi, kali ini masih dengan kekesalan yang sama, tangannya singgah dikepala Shahnaz, menoyor dengan sekuat tenaga, sehingga badan sahabatnya itu terjungkal ke samping.

"Ih anjing— Eh apa tuh?!"

Shahnaz kembali terduduk, dan sebelum melempar umpatannya, telinga Shahnaz mendengar suara unit Jennie terbuka, disusul suara sepatu menggema seolah akan mendekat. "Ih anjir siapa tuh, Jen?! Grasak grusuk, buru-buru amat kayak debt collector! Jangan-jangan mau acak-acak unit lo? Lo punya hutang, ye, Jen?! Anjir kenapa ga bilang gue kalo lo kejerat pinjol?!" Dengan mulut yang terus meruntut pertanyaan, tubuh Shahnaz merekatkan dirinya pada Jennie yang langsung didorong wanita itu.

Jennie berdiri sedikit menjauh, "Radit." Ucapnya.

Namun telinga Shahnaz yang terfokus pada suara kaki tidak bisa mendengar Jennie dengan baik. "Hah?!"

"Itu, Radit."
Jawab Jennie lagi, bersamaan dengan sosok Radit yang muncul, membuka pintu kamar Jennie dengan kasar.

"Sial!"

"Aku gapapa, Mas, ih!"

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

"Aku gapapa, Mas, ih!"

Shahnaz masih terus berusaha melepaskan diri dari tarikan kuat kekasihnya, tapi berakhir sia-sia.
Karena pada dasarnya, tenaga mereka tidak sebanding.

"Masuk." Perintah Radit tegas ketika mereka didepan mobil. Pria itu bahkan memalingkan wajah, menolak menatap mata Shahnaz.

"Mas.." Bujuk Shahnaz lagi, membuat Radit mau tidak mau akhirnya mendorong tubuh Shahnaz masuk dengan paksa.

Radit masih bungkam dan Shahnaz sibuk mengumpati Jennie sepanjang perjalanan.

"Jennie bangsat! Kenapa dia pake ngadu-ngadu sama Radit, sih?! Dasar fake friend! Cepuan! Mulut lemes!" Shahnaz mengomel tanpa henti, dan kata-kata yang keluar dari mulutnya juga itu-itu saja, seolah dalam mode loop.

Pada saat lampu merah, tanpa diduga, Radit membungkam mulut kekasihnya dengan satu ciuman kasar dan menuntut.

"Hmppp— Aw!" Aduh Shahnaz ketika ciuman mereka terlepas, karena tanpa sengaja tadi Radit mengenai ujung bibirnya yang sempat robek.

Radit berdecih sinis, mengusap bibir Shahnaz juga dirinya, "Gitu kamu bilang baik-baik aja." Ledeknya pada Shahnaz yang berbohong.

"Yaaa—" Shahnaz yang akan memberikan bantaahan, seketika mengurungkan niat dan memutuskan bungkam ketika Radit menatapnya dengan tatapan tajam.

"Galak banget." Cicit Shahnaz segan.

Sepuluh menit kemudian Radit memarkirkan mobilnya dipelataran rumah sakit. Pria itu membuka lock door, pertanda agar mereka berdua bisa turun.

"Mas.. Apa harus kayak gini? Harus sampe visum?" Tanya Shahnaz ragu-ragu. "Ini salah aku, kok, tadi aku yang ngundang amarah Papa. Aku bilang Sagita penyakitan, dan ya pasti Papa ngga terima.. Ini konsekuensi tindakan sembrono aku, Mas. Nggak perlu dibesar-besarin.."

Mendengar itu, bukannya mereda, raut wajah Radit semakin mengeruh. Sehingga Shahnaz berpikir kalimat mana yang salah? Kenapa Radit marah? Apa Radit marah padanya?

"Jangan berani-berani melakukan penawaran dengan saya untuk hal ini. Berhenti membela keluarga kamu, Nadira." Radit menggeram dengan suara berat dan dalamnya.

"Itu.. Aku.."

"Saya udah pernah toleransi yang pertama. Ingat? Mama kamu."

"Tapi.. Mas.."

"Ini saya lihat yang kedua, dan nggak ada toleransi lagi untuk itu!" Nada suara pria itu meninggi, Shahnaz sampai terkesiap ditempatnya.

Ia baru lagi melihat Radit semarah ini, setelah kemarahan Radit yang pertama beberapa bulan lalu.

Amarah pria itu saat ini sama hebatnya.

"Nadira.. Untuk luka-luka kamu yang terjadi sebelum bertemu dengan saya saja, saya masih belum bisa menerima semuanya. Saya masih menyesali takdir kita, kenapa saya tidak bertemu kamu lebih awal?! Apalagi ini, mereka menyakiti kamu ketika kamu seharusnya aman dibawah perlindungan saya. Kamu jangan harap saya akan melepaskan semuanya begitu saja."

"Mas.. Kamu..?"

"Ya, Didi, saya tau semuanya.. Dan saya nggak akan meminta maaf atau menyesal telah mencari tau tentang kamu lebih dalam. Setidaknya, yang saya pikirkan benar, kamu tidak akan berkata jujur mengenai luka kamu. Jadi lebih baik saya cari tau sendiri."

"

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.
INVISIBLE STRING | WONWOO X LISA [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora