"Dia ngurung diri di kamar." Ujar Jennie menjelaskan pada Radit baru datang dengan tergesa.

"Kenapa?" Tanya Radit singkat, tapi ia tahu Jennie pasti mengerti apa yang ia maksud.

Jennie sebenarnya bingung harus menjelaskan darimana. "Acha.. Lo, keluarganya.." Jennie bergumam rancu. Meski sebenarnya tidak sabar, tetapi Radit menunggu.
Dan karena masih tidak bisa menjelaskan, Jennie lalu menggelengkan kepalanya, "Mending lo liat sendiri, deh."

Tidak mendapat jawaban jelas, Radit membuang nafas kasar, kemudian mengayunkan langkah lebar berjalan menuju kamar Shahnaz.

Sesampainya didepan pintu, pria itu mengetuk pelan. "Didi, ini saya."

Tidak mendapat sahutan, pria itu kembali mengetuk. "Sayang.."

Jennie yang ikut mengekori dibelakang seketika bergerak maju membuat Radit sedikit mundur.

Wanita itu memutar kenop, dan ternyata terbuka. "Nggak dikunci. Lo masuk deh. Gue pergi balik ke unit. Titip Shahnaz, ya?" Pesannya sebelum membuka pintu lebih lebar dan mempersilahkan Radit masuk yang dibalas anggukan oleh pria itu.

Radit berjalan pelan menuju Shahnaz yang tidak bergerak dari posisinya, meringkuk dengan kedua lulut ditekuk dan wajah yang tenggelam disana. Namun isakannya telah mereda.

"Sayang.." Panggil pria itu pelan, Radit duduk di ujung ranjang. "Didi.. Ini saya."

"—hiks." Isakan yang sebelumnya mereda itu kembali terdengar.

Radit berusah naik keatas ranjang dan meraih Shahnaz. Memegang tangan wanita itu, mencoba mengurai pelukan Shahnaz pada lututnya.

Pria itu berdecak ketika usahanya tidak berhasil dan pelukan Shahnaz dilututnya semakin erat, "Kamu dari kapan nangis dengan posisi begini?" Ujarnya tidak percaya, "Didi.. Kalo mau nangis sini di bahu saya, kalo gitu kamu nggak bisa bernafas."

"Sayang.." Bujuk Radit lagi untuk kesekian kali, namun tetap belum berhasil.

"Ini Acha bilang apa sih sebenernya? Saya telepon ya sekarang orangnya, kok bisa-bisanya bikin kamu kayak gini."

Radit mengeluarkan ponselnya, namun sebelum Radit sempat melakukan panggilan, tangannya ditahan oleh tangan Shahnaz, "—Ja..Ngan.. —hiks."

Shahnaz masih dalam posisinya, hanya saja tangannya terulur menahan tangan Radit, "Sini lihat dulu saya." Pinta Radit, yang dibalas gelengan oleh Shahnaz, wanita itu bahkan menarik kembali tangannya.

"Ck. Saya telepon Acha, nih." Ancam Radit.

Perlahan, Shahnaz mengangkat kepalanya, mengerjapkan matanya yang membengkak, bahkan nyaris tidak terlihat, menandakan ia cukup lama dalam posisi tadi.

Melihat keadaan kekasihnya yang kacau, Radit berdecak, kemudian bergerak mendekat menghapus air mata wanita itu. "Astaga Nadira.. Kamu ini diapain sih sama Acha? Orang lagi jauh begitu kok bisa bikin pacar saya kacau begini." Omel Radit.

Shahnaz menggeleng, masih menutup mulutnya.

"Ada yang sakit ngga?" Tanya pria itu, tangannya yang lain mengambil beberapa lembar tissue dari nakas. Menempatkannya di hidung Shahnaz. "Buang ingusnya disini, engap pasti nangis begitu, hidung kamu pasti penuh, nafasnya susah." Perintah Radit.

Shahnaz hendak kembali menggeleng dan menolak, namun kali ini pria itu memelotot dibalik kacamatanya. Membuat Shahnaz merengut, mau tidak mau menurut melakukan apa yang Radit diperintahkan.

Radit membuang tissue ke nakas, "Gitu aja kok susah." Cibir Radit pada wanita itu. Shahnaz yang mulai bisa bernafas dengan baik, mencoba bersuara, "Kk-an malu." Cicit Shahnaz.

Mendengar itu, Radit mengangguk, "Mentingin malu dan gengsi daripada kesulitan sendiri, memang sangat kamu." Sindir pria itu.  "Bicara sekarang." Lanjutnya tegas.

Sebanarnya Radit tidak berniat bertindak keras terhadap Shahnaz, hanya saja tadi ketika membuka pintu kamar dan melihat kondisi kekasihnya, ia dilanda khawatir. Dan tindakan Shahnaz bukannya membuat kekhawatirannya reda, malah tetap keras kepala sehingga berbalik membuat Radit kesal.

Shahnaz mengerucutkan bibirnya yang memerah, "Leher aku sakit.." Rengeknya mencoba mempengaruhi Radit agar tidak membahas alasannya menangis.

Radit memutar bola matanya malas, "Suruh siapa nangis begitu? Sini saya pijit sambil kamu bicara."

"Suara aku abis.." Shahnaz kembali beralasan dengan suara seraknya.

Radit menghela nafasnya lelah, kemudian beranjak dari ranjang. "Saya ambilin minum."

Melihat Radit menjauh, Shahnaz siap kembali menangis, "Kamu mau pergi?"

"Nggak pergi, saya ambil minum, Didi."

"Tapi pergi.. —hiks."

Radit membuka mulutnya tidak percaya, ada apa dengan Shahnaz?

Pria itu akhirnya kembali merangkak menaiki ranjang dan memeluk Shahnaz, "Astaga.. Ini saya beneran telepon Acha, ya?"

Tanpa menjawab, Shahnaz mengeratkan pelukannya, "Kamu jangan pergi."

"Saya nggak kemana-mana."

"Aku sayang sama kamu."

"Saya juga. Menurut kamu kalo saya nggak sayang sama kamu, ngapain saya disini?"

"Kamu jangan capek sama aku."

"Itu nggak janji.. —Aw!" Aduh Radit karena cubitan Shahnaz dipinggangnya setelah mendengar jawaban pria itu.

Shahnaz merengut tidak terima, "Kenapa jawabnya gitu! Katanya sayang aku!"

Radit terdiam sebentar, menghela nafas, kemudian mengelus surai Shahnaz dengan sayang, "Nadira, saya akan pergi jika kamu minta. Saya nggak bisa menggantungkan harapan saya terhadap orang yang nggak membutuhkan saya. Sekalipun saya sayang sekali sama kamu, tapi kalo kamu nggak percaya sama saya, untuk apa kita terus sama-sama? Percuma, kamu juga nggak akan bahagia, sementara saya mau kamu bahagia.

Kamu harus inget saya juga manusia, sekalipun toleransi sabar saya terhadap kamu luas, tapi saya juga nggak bisa menjamin akan sampai mana jika kamu nggak menghargai diri kamu sendiri, kamu nggak menghargai saya dan dunia saya."

"Aku bahagia sama kamu."

"Prove it. Kamu akhir-akhir ini banyak menangis, energi saya cukup kekuras banyak untuk itu. Karena dunia saya terguncang dan nggak baik-baik aja. Kamu yang dulu saya kenal nggak begini, bukan berarti kamu nggak boleh menangis dan sedih, tapi saya merasa nggak berguna.

Karena kamu kayak gini semenjak kita bersama, itu berarti bersama saya buat kamu tertekan dan nggak bahagia. Saya benci bahwa saya nggak bisa membuat hidup kamu lebih baik."

"Kamu nggak gitu.. Berhenti bilang kayak gitu."

"Maka kamu juga harus lakuin hal yang sama. Sekali lagi, saya cuma minta kamu percaya sama saya. Tapi jika memang sulit, setidaknya percaya sama diri kamu sendiri. Kamu bilang kamu sayang sama saya, coba percaya dengan diri kamu sendiri bahwa kamu nggak sayang sama orang yang salah."

Bikin drama niatny nunda-nunda biar ga cepet tamaaat tapi aaaaaaaa takut mulai keluar jalur ☹️☹️☹️☹️☹️ OK MULAI BAB DEPAN KITA SERIUS OK? 🥹

Ups! Ten obraz nie jest zgodny z naszymi wytycznymi. Aby kontynuować, spróbuj go usunąć lub użyć innego.


Bikin drama niatny nunda-nunda biar ga cepet tamaaat tapi aaaaaaaa takut mulai keluar jalur ☹️☹️☹️☹️☹️ OK MULAI BAB DEPAN KITA SERIUS OK? 🥹

INVISIBLE STRING | WONWOO X LISA [END]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz