🚨 this works has been labeled with mature sign, some parts of the story contains mature scenes. do not cross your line, BE WISE.
"I wont give up on us, Didi."
Nadira Shahnaz memandang nanar pada pria yang memohon didepannya. Lelaki yang ia kenal t...
"Mas kamu pernah gak sih kepikiran punya pacar kayak aku?" Tanya Shahnaz seraya menatap langit-langit ruang tengah apartemennya.
Setelah Radit kembali diam dan tidak ingin membahas apapun. Juga pasta yang dimasaknya tidak layak untuk dimakan, akhirnya untuk mengalihkan topik, mereka beralih membicarakan tentang memesan makanan cepat saji.
Dan selesai makan, karena terlalu larut, Raditpun memutuskan menginap.
Karena ranjang Shahnaz yang tidak terlalu besar, mereka memutuskan meminggirkan sofa dan kursi-kursi lalu menggelar kasur lipat diruang tengah agar bisa tidur bersama.
Awalnya, Radit tmenawarkan diri untuk tidur di sofa saja dan menyuruh Shahnaz tetap diranjangnya. Tetapi Shahnaz menolak, ia merasa egois karena memikirkan Radit kesulitan di sofa, sedangkan dirinya diranjang yang nyaman, memutuskan ingin tidur di sofa juga.
Pembahasan mengenai egois, ingin menang sendiri, masih membekas diingatan Shahnaz sehingga ia menghindari menjadi pihak yang dimenangkan.
Padahal bukan tentang seperti ini maksud Radit..
Saat Radit kebingungan karena sofa di tengah juga tidak begitu besar untuk dipakai berdua. Kemudian Shahnaz dengan inisiatifnya mengeluarkan kasur lipat yang cukup besar dan lalu disanalah mereka berdua berbaring sekarang.
"Mas.." Panggil Shahnaz lagi.
Shahnaz tidak nyaman Radit menjadi pendiam, walaupun sebenarnya pria itu juga tidak banyak bicara jika bukan Shahnaz yang memulainya.
Hanya saja, situasinya canggung setelah pembahasan tadi, dan Shahnaz ingin mencairkan kembali atmosfir diantara mereka.
Wanita itu menggulingkan dirinya, mengubah posisi dari berbaring menjadi menghadap Radit dengan kepala bertumpu pada tangannya yang membentuk siku-siku. Tangannya menoel-noel Radit yang tetap bergeming menatap langit-langit, larut dengan pemikirannya sendiri.
"Nggak." Jawab Radit tiba-tiba, belum bergerak dari posisinya.
"Ih masa? Kan kamu yang approach aku duluan?" Kata Shahnaz tidak percaya. Meninju lengan Radit, karena sedikit kesal.
Yang benar saja! Selama ini bukan Shahnaz yang mengambil langkah pertama, itu Radit. Seharusnya pria itu setidaknya bisa membayangkan Shahnaz menjadi kekasihnya.
"Hm mungkin pernah, tapi setelah beberapa lama, nggak lagi."
Shahnaz mengernyit tidak mengerti, "Lho...? Maksudnya gimana? Kamu mikirin orang lain ya selain aku?!" Tuduh wanita itu tidak beralasan. Matanya menyipit curiga.
Kali ini Radit bergerak, mengubah posisinya seperti Shahnaz sehingga mereka saling berhadapan sekarang. Menyempatkan diri mengusap wajah curiga Shahnaz, karena dituduh seperti itu cukup mengganggu Radit. "Sebelumnya saya sering memikirkan punya pacar seperti kamu, sebelum hari itu, pas saya antar kamu kerumah Ayah kamu. Saya berpikir berbeda."
"Hm?"
Tangan Radit yang bebas bergerak menyingkirkan anak rambut yang jatuh di wajah kekasihnya, "Sejak saat itu, saya ganti nggak cuma berpikir kamu pacar saya tapi saya pikir kita jodoh. Kamu mungkin nggak ingat, tapi saya pernah tinggal beberapa langkah dari rumah Ayah kamu. Dan kenapa Mami jodohin saya sama Sagita, karena Mami dan Mama kamu pernah kenal dulu, waktu kami tinggal disana." Jelas Radit. Matanya menatap penuh arti seolah sedang memberi sinyal pada Shahnaz.
"Hah? Sebentar..." Shahnaz seketika terduduk, sesuatu melintas di otaknya, ia sedang mengumpulkan benang-benangnya. "Yang tinggal disana nggak berubah banyak karena biasanya diturun-temurunkan ke keluarganya. Dan selama aku tinggal disana, jarang ada anak kecil seumuranku, makanya temenku cuma Jennie..
Tapi.. Dulu ada satu, Oom-ku, adiknya Papa pindah saat aku sekolah dasar.. Beberapa rumah ke kanan.. Saat ada satu temanku yang lain hilang.. Kamu bilang kamu dulu tinggal disana?! Itu.. Bukan dirumah yang sekarang ditinggalin Oom Rahman?!" Tanya Shahnaz kaget, bola matanya membesar.
"Mas.. Kamu... Jangan bilang.." Shahnaz menutup mulutnya, seolah-olah apa yang akan dikatakannya mustahil. "Nggak mungkin, 'kan?!"
Radit terkekeh melihat ekspresi kaget Shahnaz yang seolah baru diberitahu bahwa bumi terbelah dua, kemudian pria itu ikut terduduk. "Kenapa nggak mungkin?" Tanya Radit usil, mengendikkan bahu.
Lalu pria itu mengulurkan tangannya, yang dibalas Shahnaz tatapan tidak mengerti, "Hai.. Apa kabar, Didi?" Sapa Radit tersenyum.
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Kenapa aku sering sekali pencet publish saat masih mau edit 😭