🚨 this works has been labeled with mature sign, some parts of the story contains mature scenes. do not cross your line, BE WISE.
"I wont give up on us, Didi."
Nadira Shahnaz memandang nanar pada pria yang memohon didepannya. Lelaki yang ia kenal t...
"Nadira Shahnaz!" Teriakan Ibunya mulai tidak terkendali. "Kamu bisa cari pria mana saja, asal jangan Radit. Mama bisa menjodohkan kamu dengan lelaki kaya dan tampan yang lain! Tapi jangan rebut milik Nadila!"
Mendengar itu Shahnaz terkekeh, seolah apa yang didengarnya adalah lelucon. Sebelum kemudian kembali tersenyum miring, "Kenapa itu nggak berlaku buat Nadila? Mama bisa carikan Nadila pria lain dibanding harus mengemis-ngemis pada kekasih orang lain!" Jawab Shahnaz menggebu-gebu. "Radit itu punya aku! Yang digandeng sana-sini itu aku, bukan Nadila! Kalo aja Mama tau, Radit udah nolak Dila berkali-kali! Berhenti, jika Mama masih ingin Dila punya harga diri! Dan berhenti merebut apa yang aku punya!" Katanya tidak gentar meski ia tahu itu akan memprovokasi Ibunya lebih parah.
Karena sekarang yang Shahnaz lihat.. Rahang Ibunya semakin mengetat dan tatapan wanita paruh baya itu seolah ingin menguliti anak sulungnya hidup-hidup.
"Kurang ajar kamu, ya!" Bentak Ibunya berapi-api. Shahnaz bahkan baru melihat lagi Ibunya seperti itu. Rasanya seperti kembali ke masa remajanya yang penuh bentakan dan teriakan dari sang Ibu, sebelum berhenti berganti menjadi cambukan dan pukulan dari Ayahnya.
Tangan Ibunya terangkat di udara hendak menampar Shahnaz kembali sebelum mengambang dan terkepal ketika mata Shahnaz memicing semakin menantangnya, "Tampar, tampar Dira lagi sampai Mama puas." Shahnaz menyodorkan pipinya yang memerah pada Ibunya. Ia menarik tangan Ibunya yang menggantung diudara untuk menuju pipinya namun tidak berhasil. Ibunya menahan diri dengan kuat. "Kenapa? Kenapa Mama berhenti?" Tanyanya berteriak lantang.
Shahnaz kemudian meraih rambutnya sendiri membawanya ketangan sang Ibu. "Ini! Biasa mama juga jambak Dira, jambak! Jambak yang kuat sekarang! Jambak sampai kepala Dira lepas kalo bisa!" Ia terus-menerus menarik tangan Ibunya. Membuat Ibunya kesal dan langsung mendorongnya bahu Shahnaz agar menjauh.
Shahnaz mundur beberapa langkah, tetapi kembali maju. "Mama pikir Dira takut? Nggak! Dira udah imun sama teriakan, bentakan dan tamparan Mama. Dira udah ga kenal lagi yang namanya sakit atau sakit hati." Kemudian Shahnaz tertawa keras namun terdengar miris, ia menertawakan dirinya sendiri. Menertawakan hidupnya yang kacau. "Kenapa Mama nggak minta perjodohan Dila sama Radit aja yang batal? Mereka baru calon! Aku pacar Radit! Kenapa harus aku yang mengalah atas milikku sendiri?!" Shahnaz berteriak tepat dihadapan Ibunya. Matanya menatap lurus tidak berkedip, ia ingin Ibunya tahu bahwa dirinya juga bisa marah dan kecewa.
Shahnaz mulai kehilangan kendali atas dirinya, wanita itu bahkan tidak tahu mana yang lebih dominan, apakah rasa marahnya atau justru rasa kecewanya. Emosinya kacau. Ia tidak bisa menahan diri.
Matanya mulai memerah dan berkaca-kaca seusai ia meneriakkan kalimatnya.
Sebenarnya Ibunya diam karena terlalu terkejut akan respon Shahnaz yang tidak biasa. Ini diluar dugaannya. Tetapi untuk menutupi keterkejutannya, Ibunya akhirnya hanya menggeleng tidak percaya, "Kamu bahkan bukan Dira yang Mama kenal. Kamu egois! Bahkan mengalah untuk saudara kamu sendiri saja kamu tidak bisa?!"
Tawa miris Shahnaz terdengar semakin keras seiring air matanya yang mulai turun. "Kenapa setiap aku ingin mempertahankan milikku sendiri aku harus disebut egois?! Kapan Mama akan berkaca?! Kapan aku nggak ngalah dari Nadila? Aku juga anak Mama! Sekali ini aja, Dira mohon.. Mama jangan rebut Radit..
Mama, Nadila, Papa udah rebut semuanya dari aku. Apa itu nggak cukup? Bahkan keinginan aku untuk hidup pun, kalian udah renggut semuanya dari dulu." Katanya getir, bibirnya bergetar karena menangis, Shahnaz mendongakkan kepala menahan air matanya untuk turun lebih deras.
Ia tidak ingin terlihat lebih menyedihkan lebih dari ini. Tidak ada gunanya, seolah Ibunya akan peduli saja.
"Nadila itu sakit! Kamu harusnya memikirkan perasaan Dila jika tau semua ini! Kamu rela membiarkan saudara kamu mati demi keegoisan kamu. Hah?!" Bentakan Ibunya kembali menggema, ingin mengingatkan kembali Shahnaz akan saudaranya. Tetapi justru malah menyulut kembali emosi Shahnaz yang sempat surut. "Berhenti! Berhenti mengancam aku dengan alasan sialan itu!" Shahnaz menjerit histeris dengan air matanya yang terus mengalir. Ia bahkan menutup telinganya, jengah karena Ibunya selalu mencoba mendoktrin kata-kata yang sama padanya.
"Apa Mama nggak pernah memikirkan sekali aja perasaanku?! Aku juga capek terus menerus harus mengalah! Mama selalu peduli dengan Dila yang sakit, Dila diambang sekarat. Dila begini, Dila begitu! Apa Mama pernah sadar kalo anak mama, aku, Nadira Shahnaz, udah mati sejak lama?!" Tambah Shahnaz berapi-api. Ia sudah muak. Ia tidak peduli sekalipun Nadila harus mati. Ia sendiri telah menjadi mayat hidup sedari remaja, siapa yang peduli atas dirinya?!
Ibunya kembali menggeleng, benar-benar tidak percaya atas apa yang didengar dan dilihatnya malam ini. Wanita paruh baya itu masih menolak sadar, malah justru mempertanyakan sejak kapan anak sulungnya berubah seperti ini?
Ibu Shahnaz mengambil tas yang tergeletak di meja, bersiap hendak pulang karena terlalu lelah berdebat dengan Sulungnya. "Mama nggak percaya membesarkan kamu seperti ini. Coba saja, Dira. Kita lihat kamu bisa sejauh mana. Ayah kamu juga tidak akan menyetujui hubungan kalian jika Mama bilang Radit seharusnya menjadi milik Nadila." Tantangnya seraya berjalan menuju pintu keluar. Melewati Shahnaz yang terduduk dilantai dengan tubuhnya ringkihnya. Tanpa melirik sama sekali, Ibunya hanya berlalu begitu saja.
¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.
Yang dipikirin selama ngetik bab ini cuma.. "Emosinya sih kayaknya ga nyampe tp hausnya Shahnaz pasti kerasa." Dah gt aja. bye