🚨 this works has been labeled with mature sign, some parts of the story contains mature scenes. do not cross your line, BE WISE.
"I wont give up on us, Didi."
Nadira Shahnaz memandang nanar pada pria yang memohon didepannya. Lelaki yang ia kenal t...
Akhirnya Radit bisa mengendalikan diri lima belas menit kemudian. Dengan mencicit, pria itu meminta minum kepada Shahnaz.
Dan sekarang wanita itu sedang memperhatikan Radit yang meminum airnya dengan rakus. Satu gelas tinggi pria itu habiskan dalam satu tegukan.
"Pelan-pelan," Tegur Shahnaz. Bukan apa- apa, Shahnaz hanya khawatir Radit tersedak, lagipula tidak ada juga yang akan mengambil air minum pria itu.
Melihat Radit minum seperti orang yang telah beberapa tahun tidak melihat air, membuatnya haus juga. Shahnaz beranjak untuk ikut mengambil gelas, tubuh Radit langsung menegang waspada.
Seakan mengerti, Shahnaz berkata menenangkan, "Tenang, aku cuma mau ambil air dingin. Kamu bisa ikut aku kalo mau."
Dan kemudian setelah mengatakan itu, Shahnaz menggelengkan kepalanya tidak mengerti ketika Radit benar-benar mengekorinya mengambil air dingin. Padahal, jarak sofa dan lemari pendingin tidak jauh dan Radit bisa melihat Shahnaz dari sana.
"Kamu bisa cerita sekarang?" Tanya Shahnaz ketika mereka telah kembali duduk di sofa. Matanya menatap lekat untuk melihat gerak-gerik Radit.
Pria itu menghela nafas, lalu menggenggam tangan Shahnaz meletakkan dalam pangkuannya. "Kamu reject panggilan saya, terus nomer kamu nggak aktif setelahnya. Saya seketika panik." Dengan menunduk dan memperhatikan jari-jari mereka yang bertautan, Radit menjawab tanpa menatap mata Shahnaz.
Mendengar itu, Shahnaz meringis merasa bersalah. "Tadi Mama dateng, terus Mama kan gatau nomerku yang ini, terus pas kamu manggil aku bilang ini ponsel Jennie. Eh malah kamu terus-terusan telepon, daripada Mama curiga jadi aja aku matiin ponselnya. Maaf ya?" Kata Shahnaz menjelaskan dengan nada menyesal.
Shahnaz bisa membayangkan kepanikan kekasihnya, pasti tadi pria itu mengemudi kesini dengan kecepatan penuh, dan perkiraannya tidak meleset.
"Jangan diulang lagi. Kamu gak tau seberapa panik saya tadi. Mana kamu baru pulang dari rumah sakit. Saya takut ada apa-apa terjadi sama kamu."
Sebenarnya Shahnaz ingin tertawa, merasa lucu akan pemikiran kekasihnya. Memang apa yang akan terjadi padanya? Tapi di sisi lain, ia ingin menangis juga. Ada seseorang yang bahkan tidak memikirkan keselamatannya sendiri hanya untuk memastikan Shahnaz baik-baik saja. Itu membuatnya terharu.
"Maaf, Sayang. Promise, nggak akan aku ulangin."
Radit menganggukkan kepalanya tanda setuju. Ketika akan merangkul Shahnaz untuk lebih dekat, wanita itu meringis, membuat Radit mengalihkan matanya pada kekasihnya. "Kenapa?" Tanya Radit khawatir.
Shahnaz tersenyum sungkan, tidak enak jika harus jujur ini karena ulah Radit tadi. Tapi melihat pria itu tidak akan membiarkan ini berlalu dengan mudah, mau tidak mau Shahnaz harus jujur. "Kamu tadi cengkram bahu aku cukup kuat." Katanya hati-hati.
Radit langsung memasang wajah menyesal, memeriksa bahu kekasihnya yang memang masih memerah di kedua sisinya. "Maaf, Sayang."
"Hei, gapapa, kamu tadi panik, aku ngerti. Salah aku juga kok." Shahnaz berusaha memenangkan kekasihnya yang entah mengapa Shahnaz rasa menjadi lebih manja setelah keluar menemui Mario tadi. Tangannya mengusap-usap punggung Radit tang mengecupi bahunya sebagai tanda permintaan maaf.
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.