Radit menunduk dan menggeleng pelan, hampir tidak terlihat kalau bukan karena ibunya yang menatapnya dengan lekat dan tajam. "Abang!" Kata Ibunya setengah menjerit lalu menggeleng putus asa. "Abang nggak sayang Mami."

Sarah yang melihat itu, berusaha mengatasi keadaan.
Sarah menghampiri Ibunya mengelus bahu wanita itu pelan, "Abang sibuk, Mami, udah dua minggu juga abang nggak pulang. Abang baru mau chat kak Sagita sekarang, ya 'kan?"
Sarah menenangkan Ibunya, setiap katanya diucapkan dengan tekanan. Mendengarnya Radit mengangkat wajah hendak melempar protes namun keluhannya tertelan setelah melihat Sarah yang memberi kode. Turutin aja! Begitu kira-kira yang coba disampaikan oleh adiknya.

Membuang nafas kasar, mau tidak mau Radit merogoh sakunya mencari ponsel, mengetikkan sesuatu disana, mengarahkan layar ponsel menghadap Ibunya.
"Abang udah chat Sagita. Nanti minggu depan abang ajak nonton." Ucap Radit dengan nada enggan lalu beranjak dari kursi setelah menghabiskan makanannya.

"Kan abang gak mungkin gak sayang sama Mami." Kata Sarah kembali menenangkan Ibunya seraya memandang prihatin pada kakaknya yang berjalan menuju kamarnya.

"Aw, pelan pelan nyet!"Shahnaz terus mengaduh dan meringis membuat Jennie yang sedang mengoles salep pada lukanya menjadi kesal

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Aw, pelan pelan nyet!"
Shahnaz terus mengaduh dan meringis membuat Jennie yang sedang mengoles salep pada lukanya menjadi kesal. Berisik sekali wanita dihadapannya ini, udah ditolong juga! Jennie menggerutu dalam hati.
Dengan sedikit menekan diakhir dan membuat Shahnaz memelotot, Jennie menyelesaikan pekerjaannya.

"Kali ini apalagi?" Tanya Jennie tidak sabar.
Sebenarnya ini bukan hal aneh, tapi tetap saja setiap kali melihat Shahnaz seperti ini ia tidak bisa untuk tidak khawatir.
Jennie mencoba menutupi kekhawatirannya bertanya dengan nada bossy, Shahnaz benci dikasihani maka dari itu Jennie berusaha kuat menahan rasa cemasnya dengan bersikap demikian.

"Menurut lo apalagi?"
Shahnaz menjawab acuh memandang lurus dinding didepannya dengan tatapan kosong.

"Karena dua minggu lalu gue absen pas mama nelepon dan minta ketemu. Ayah bilang gara-gara gue ayah nggak bisa ikut liat anak kesayangannya, gue ngebuang kesempatan ayah buat bisa anaknya." Lanjut Shahnaz dingin tanpa ekspresi. Namun Jennie bisa merasakan kebencian dari setiap kata yang keluar dari sana.

Jennie memerhatikan sahabatnya lalu menghela nafas berat, mengenal Shahnaz hampir separuh usianya, Jennie tahu betul bahwa hidup sahabatnya ini cukup rumit.
Jennie mengenal Shahnaz saat sekolah menengah pertama, mereka bertetangga berjarak lima rumah untuk mencapai satu sama lain. Lalu sekarang mereka tinggal di gedung apartement yang sama dan lantai yang sama hanya berbeda beberapa nomer unit.

Shahnaz anak pertama dari dua bersaudara. Orangtuanya berpisah saat mereka duduk di bangku sekolah atas karena usaha ayahnya gulung tikar.
Ibunya hanya membawa saudaranya, sedangkan Shahnaz dibiarkan bersama ayahnya.
Saudara perempuan Shahnaz itu sakit-sakitan dari kecil sehingga saat mengetahui suaminya bankrupt tidak bisa membiayai pengobatan putrinya yang lain, Ibu Shahnaz menikah lagi dengan pria yang lebih kaya dan itu melukai harga diri ayah Shahnaz yang masih mencintai Ibunya.

Sejak dari itulah Shahnaz selalu menjadi sasaran kemarahan ayahnya yang berubah tempemental. Jennie ingat setelah orangtua Shahnaz berpisah sahabatnya itu harus membiayai hidupnya sendiri.
Bekerja paruh waktu dan mengejar beasiswa agar bisa terus bersekolah sementara ayahnya sibuk mabuk-mabukan dan tidak peduli terhadapnya.

Ayahnya selalu menolak pemberian Ibu Shahnaz untuk anaknya karena tidak mau dianggap kalah dari suami barunya membuat Shahnaz lambat laun dilupakan Ibunya, sedangkan ayahnya berhenti melakukan apapun untuk hidup Shahnaz.
Gadis itu dibiarkan berjuang sendirian.

"Jen, minta handphone gue yang di laci bawah dong." Shahnaz memecah keheningan namun masih tidak mengalihkan pandangannya dari dinding.
Jennie menurutinya, mata kucingnya sempat melirik ponsel lain yang tidak berbentuk berada diatas meja sebelah ranjang. Ponsel yang Shahnaz gunakan untuk keluarganya.

Shahnaz memang membagi kehidupannya, ponselnya untuk bekerja dan bersosialisasi ia bedakan dengan keluarganya. Alasannya sederhana, ponselnya sering hancur ketika ia bertemu dengan ayahnya. Dan Shahnaz tidak ingin mengambil resiko jika ponsel untuk pekerjaannya harus rusak karena semua data pentingnya disana.

Menimang ponsel ditangannya, Jennie berkata hati-hati, "Lusa lo gimana? Lo ga bisa kerja dengan keadaan kayak gini." Wanita itu menyuarakan pendapatnya, karena penampilan Shahnaz cukup mengerikan dan luka itu tidak akan sembuh hanya dengan satu malam.

Ia mengulurkan ponsel dan diterima Shahnaz dengan baik, namun Shahnaz belum mau menyalakannya hanya meletakkannya disebelah ponselnya yang rusak.

"Gimana nanti aja, gue ga bisa mikir."
Dibantu Jennie, Shahnaz berusaha membaringkan tubuhnya dengan posisi menyamping agar punggungnya tidak terhimpit ranjang.

Jennie mematikan lampu dan ikut berbaring disebelahnya, ia memutuskan menginap.
Sebelum ikut terlelap samar-samar Jennie mendengar Shahnaz bergumam pelan, "Thankyou, Jen."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
INVISIBLE STRING | WONWOO X LISA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang