49• Perlahan Terkuak

3.8K 149 0
                                    

Suasana di dalam ruangan Wina mulai terasa tenang. Gama sibuk dengan dunia pekerjaannya, sedangkan Kastara tampak terlelap dalam mimpinya.

Pintu ruangan terbuka. Menampilkan Julian, sang asisten kepercayaan Gama.

"Izin lapor, Tuan."

Gama sontak mengalihkan pandangan dari arah laptop. Memandangi Julian yang berdiri, pastilah merupakan hal penting yang ingin dilaporkan.

Kepalanya digerakkan memberi anggukan sekali. Tanda mengerti, setelahnya Julian pun melangkah keluar.

Gama selanjutnya memberikan atensinya sebentar kepada Kastara. Berdiri sebentar, kemudian ia beranjak keluar menyusul Julian yang ingin melaporkan suatu hal.

Pintu dibuka, lalu ditutup kembali.

Kastara bergerak pelan menurunkan jaket yang sejak tadi menutupi kepala. Dia memang tidak tidur, sejak tadi diam bagaikan patung mengawasi gerak-gerik Gama melalui telinga.

"Ada yang nggak beres," gumam Kastara.

Ia beranjak bangun menyusul Gama dan Julian berada.

Gama dan Julian terlihat berdiri berhadap-hadapan. Posisinya tak begitu jauh dari ruangan Wina berada.

"Mengenai keluarga Danuarga."

Suara Julian yang mendominasi.

"Julian, bukannya saya sudah pernah bilang. Saya tidak mau mendengar apapun mengenai keluarga itu lagi."

"Tapi, Tuan," sanggah Julian cepat. "Hal ini ada hubungannya dengan keturunan Tuan Jendral."

Gama tertawa hambar. "Tidak mungkin. Kak Jendral dan keluarganya telah tiada, bagaimana mungkin keturunannya masih ada."

"Emeralda."

Gama seketika terdiam mendengar satu kata yang disebutkan sang asisten kepercayaan.

"Itu nama yang Tuan Gama berikan untuk penerus pertama Danuarga."

"Kejanggalan ini saya temukan, ketika menyelidiki tentang pacar Tuan Muda."

Kastara yang sedang menguping hanya mendengar sekilas. Tak terlalu jelas yang ditangkap telinga.

"Danuarga," gumam Kastara.

Jelas mendengarnya ketika diucapkan Julian.

***

Australia, waktu malam hari. Di suatu tempat yang mewah.

Seorang wanita tengah duduk sambil menyilangkan sebelah kakinya di atas kaki yang lain.

Beberapa lembar foto berhamburan menghiasi meja panjang.

Dalam jumlah yang masih terhitung, beberapa pria berdiri tegap awas di sekitar Rystin.

Tangan kanan Rystin memegang sebuah foto yang memperlihatkan wajah Ivory.

"Cari tahu, informasi apapun mengenai gadis ini. Pastikan kalian jangan sampai gagal!"

Rystin memberi perintah pada anak buahnya. Sungguh emosi rasanya, mangsa sudah di depan mata tapi berhasil lolos begitu saja.

"Kehancuran Gama sudah di depan mata."

Rystin lanjut tertawa penuh kemenangan.

"Gama Junandar Danuarga, aku tak akan pernah lupa bagaimana perbuatanmu dan keluargamu dulu."

Dendam lama kembali tercium. Darah dibalas darah. Kini, Rystin semakin gencar ingin membalaskannya.

Hubungan Gama dan Rystin memang tidak berakhir baik-baik saja. Bahkan nyawa menjadi alasan keduanya terpisahkan.

Merupakan perkara besar bagi Gama pasalnya teman sedarah yang menjadi tumbal.

Rystin meremukkan foto yang berada di tangan dalam satu kali genggam.

"Danuarga harus hancur," ujar Rystin penuh arti.

***

Seolah belum cukup isi kepala Kastara. Ia harus kembali dikejutkan dengan kabar kecelakaan mamanya-Wanis dan ayah Yaksa

Dari rumah sakit yang satu, Kastara menuju ke rumah sakit yang lainnya.

Keberadaan Afreen jelas lebih dulu. Duduk di kursi panjang yang tersedia.

"Gimana kondisi, Mama?" Kastara sungguh khawatir pada Mamanya.

Mengetahui kondisi sekarang lebih penting.

"Mama baik-baik aja, tinggal tunggu bangun."

Kastara akhirnya bisa bernapas lega.

Afreen kembali bersuara. "Tapi, Papa nggak baik-baik aja."

Kastara menatap Afreen. "Maksud lo?"

"Cidera yang dialamin Papa cukup berat, dia ditemuin sekitar 3 meter dari mobil dalam kondisi penuh luka." jelas Afreen.

Kastara terkejut mendengar kondisi Yaksa. Kenapa bisa kondisi Yaksa memburuk sedangkan Wanis baik-baik saja.

"Papa nabrak pembatas jalan, cuma itu yang gue tau."

Kastara termenung. Berusaha menyingkirkan segala pemikiran negatif yang mendadak menyerang.

Tidak mungkin! Mereka sudah berjanji. Tetapi belakangan rekan seperjanjian Kastara terlihat aneh.

"Menurut lo," Kastara menarik perhatian Afreen. "Dalam kecelakaan itu ada yang aneh nggak?"

"Mama baik-baik aja sedangkan Papa penuh luka, itu udah aneh banget."

Oke. Kastara juga berpikir sama seperti Afreen.

"Hm," baru saja Kastara ingin mengganti topik diskusi ke yang lebih serius.

Pembicaraan keduanya terpaksa dihentikan, ketika pintu ruangan tempat Yaksa berada terbuka.

"Pasien membutuhkan transfusi darah, kantong darah golongan AB tidak cukup."

Afreen dan Kastara saling tatap.

"Saya, dok." Afreen langsung menawarkan diri mendonorkan darahnya. Sedangkan Kastara terlihat masih berpikir.

"Satu orang cukup."

Kastara tinggal sendirian. Afreen telah pergi bersama seorang perawat melakukan transfusi darah untuk Yaksa.

Biar bagaimanapun, Yaksa tetaplah Ayahnya. Tapi feelingnya tak bisa seperti Afreen yang bertindak cepat saat mendengar kondisi Yaksa.

Mungkin perkara kebersamaan dan keakraban. Ikatan Afreen dan Yaksa lebih erat ketimbang Kastara.

Memutuskan menunggu di depan ruangan Yaksa dan Afreen berada.

Rall-

KASTARAWhere stories live. Discover now