Episode. 88

310 29 1
                                    

"Bereskan para tikus-tikus itu terlebih dulu." ucap Jinan pada para agen yang menemukan penyusup di sekitar wilayah bunker. Mereka adalah Suga, Freya, Flora, dan Ashel.

Mereka lalu dihadang oleh belasan oknum tentara bayaran dengan seragam lengkap. Mengenai hal itu, ke-empatnya pun sudah bisa dipastikan untuk tidak dapat masuk lebih jauh ke dalam sana. Dengan alasan, wilayah itu adalah tempat latihan tembak para tentara (bayaran).

"Padahal, aku sangat yakin mereka ada di sini. Lihat saja rekam jejak dari Ka Indah yang di-nonaktifkan sejak 4 jam yang lalu." kata Freya begitu mereka sudah kembali dalam mobil. Ia memperlihatkan titik lokasi yang menyala pada tempatnya berada sekarang.

"Kalau begitu, kita tidak punya pilihan lain. Kita harus meretas apa yang sebenarnya tersembunyi di tempat ini." ujar Suga seraya memasang headphone dan membuka laptopnya.

Ashel dan Flora hanya memperhatikan saja sedari tadi. Mereka tidak mengatakan apapun karena takut hanya akan membuat dua orang (baru dikenalnya) itu semakin bertambah pusing. Jika disuruh bicara pun mereka tidak tahu harus mengatakan apa. Yang jelas, isi pikiran mereka tengah ribut dengan segala macam spekulasi negatif dan positif.

"Moth*r f***r! Sh**!!" ucap Suga begitu menyaksikan apa yang ada dilayar laptopnya.

Penasaran dengan apa yang dilihat Suga, ketiganya pun lantas melongokan kepala demi mengetahui apa yang ada di layar laptop.

"Jadi, selama ini Ci Shani---" Ashel sontak menutup mulutnya merasa tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Hallo, Detektif Hannah. Pandora telah terbuka." ucap Suga pada panggilan telponnya.

________________________

Di depan sebuah dinding kaca dengan ketebalan 3 inci. Ada seorang wanita paruh baya yang terbaring dalam sebuah kapsul kaca. Ia tidak mati. Namun juga tidak hidup. Ada banyak selang dan kabel yang tertancap di tubuhnya. Wajahnya sangat putih dengan rambut palsu yang menutupi kepalanya. Tampaknya, efek dari penelitian membuat pertumbuhan rambutnya menjadi mati dan rontok hingga mengalami kebotakan. Meski begitu, wajah cantiknya masih tetap sama dengan kali pertama Jinan membawanya ke sana.

"Ma-mama!?" Shani terbata saat mengenali siapa wanita yang tengah terbaring di sana. Wajah yang selama ini sangat ia rindukan. Wajah yang selalu ia bayangkan dengan seadainya sosoknya masih ada di dunia. Dan sekarang, wajah itu sungguhan masih ada di depan mata kepalanya sendiri.

Tapi... bukannya mama sudah lama meninggal?

"Dia Cindy. Mamamu yang masih hidup. Papa sengaja memalsukan kematiannya demi melindungi apa yang sudah papa kerjakan." ucap Jinan membuat tanya dalam benak Shani terjawab.

Air mata itu pun luruh dengan perasaan sakit yang menyerang telak ke dadanya. Meremas paksa jantungnya sampai rasanya untuk bernapas saja Shani tak mampu. Sesaknya benar-benar membuatnya kehabisan cara untuk bersikap. Apa yang dilihatnya benar-benat membuat perasaannya hancur.

"Cindy akan membuka matanya kembali jika kamu mau memberikan sedikit darah dan ...hati untuknya." kata Jinan yang membuat mata Shani langsung menatap kearahnya dengan pandangan menusuk. Bukan Jinan namanya jika ia merasa terintimidasi. Ia justru tenang-tenang saja seolah apapun yang ia kerjakan sejauh ini, adalah hal yang sama sekali tidak mengejutkan.

"Jadi ini semua rencana Papa? Papa melibatkan satu keluarga sahabat aku hanya untuk membuatku menuruti permintaan Papa?" tanya Shani dengan suara bergetar. Tangannya mengepal menahan sesak dan kecewa.

Jinan tak langsung menjawab. Ia mengambil napas dan mengembuskannya dengan pelan seraya melipat tangannya ke dada sambil manggut-manggut.

"Jujur, awalnya juga papa tidak menduga hal ini akan terjadi. Karena sebenarnya dari awal, papa sama sekali tidak pernah mengincar keluarga Albarach hanya untuk membuat kamu mau mendonorkan bagian tubuh kamu. Karena kalau papa mau, sudah dari dulu papa melakukannya." ucap Jinan dengan tersenyum.

"Tapi, saat papa sadari ternyata kamu juga dekat dengan salah satu anak dari keluarga Albarach, dan melihat kamu yang sangat begitu akrab. Maka, kenapa tidak, kalau papa bisa buat kesempatannya terbuka seperti ini. Yah, mungkin caranya unik. Tapi, ini keren."

"Nggak akan pernah ada satupun hal yang unik dan keren dalam menghilangkan nyawa seseorang, Pa. Bahkan binatang sekalipun. Mereka juga berhak untuk hidup dengan bebas, Pa. Papa nggak ada hak buat akhirin hidup mereka begitu saja!" kata Shani dengan menatap tajam sang ayah.

"Kamu benar. Tapi mereka yang kamu lihat adalah mereka yang mau menyerahkan dirinya sendiri ke tangan papa. Tanpa paksaan. Tanpa penculikan. Seperti yang kamu pikirkan." - Jinan.

"Mereka! Gracia dan adik-adiknya serta keluarganya sengaja papa incar selama ini!" - Shani.

"Itu karena dia sudah membunuh Alka!! Adik papa! Kamu lupa sama hal itu!? Orang yang dulu pernah menyelamatkan kamu saat kamu hampir kena peluru nyasar??" ucap Jinan kali ini dengan wajah gusar.

Seketika ingatan Shani kembali pada kejadian beberapa tahun lalu ketika ia sedang lari pagi bersama om-nya yang umurnya tidak begitu jauh dengannya. Mungkin sekitar 5 atau 6 tahun bedanya. Waktu itu sedang ada acara kampanye di jalanan, entah itu pemilihan apa. Yang jelas, tiba-tiba ada suara pelatuk dan peluru yang hampir mengenai dahi Shani kalau saja Alka tidak mendorongnya. Untungnya saat itu Alka juga berhasil mengindar.

"Tapi, Pa. Om Alka meninggal karena bunuh diri. Bukan dibunuh sama papanya Gracia."

"Ya, tapi penyebabnya karena ia dilecehkan dan dipaksa diam oleh Gistavo sampai ia tertekan hingga akhirnya memilih untuk bunuh diri."

•••








Ditulis, 13 September 2022

AFTER RAIN [48] | {Completed} (DelShel, ZeeSha, Greshan & CH2) Donde viven las historias. Descúbrelo ahora