Episode. 82

302 42 5
                                    

Kurang dari satu detik saja Reva tidak langsung menarik baju Ashel, mungkin anak itu sudah terkapar tak bernyawa lagi di bawah sana dengan cairan merah kental yang melumuri seluruh tubuh.

"LO JANGAN GILA, SHEL!! NGGAK ADA SATU PUN MASALAH YANG BISA TERSELESAIKAN DENGAN CARA BUNUH DIRI!!" Teriak Reva dengan seluruh emosinya. Apalagi sekarang dia capek banget abis naik tangga 12 lantai.

"Lo nggak tau apa-apa, Del. Lo nggak ngerti apa-apa." sahut Ashel dengan frustrasi seraya kembali beranjak ke tepi gedung.

"ASHEL, STOP!!" teriak Reva lagi tak kalah frustrasi.

"Mending lo pulang sekarang, Del. Anggap aja lo nggak pernah lihat ada gue di sini." ujarnya dengan santai. Tapi tidak dengan tindakannya yang sama sekali tidak santai.

"Nggak! Gue nggak mau pulang sebelum lo turun dan ikut gue pulang!!" sahut Reva dengan menekan emosinya.

"Ck, Del. Ini hidup gue. Ini pilihan gue. Dan---ADEL, LEPASIN!!" belum selesai Ashel bicara, Reva langsung memeluknya dan menyeretnya untuk lebih menjauh dari tepian gedung tanpa pembatas itu.

"ARGH! BERHENTI DI SITU ATAU GUE JUGA IKUTAN LOMPAT!" Ancam Reva begitu tangannya digigit hingga membekas dan berdarah.

Ashel tak menghiraukan seraya lantas mengambil ancang-ancang untuk melompat.

"ASHEL, HIDUP KITA TUH SAMA! KITA SAMA SAMA PERNAH KEHILANGAN ORANG YANG KITA SAYANG TEPAT DI DEPAN MATA, SHEL!  GUE TAU RASANYA JADI LO, SHEL! GUE PAHAM! TAPI PLEASE! PLEASE! JANGAN BUNUH DIRI GUE MOHON!!" Teriak Reva disertai dengan suara tangis yang tertahan.

Teriakannya mampu membuat Ashel yang tadinya mau lompat jadi terhenti saat mendengar apa yang dikatakan Reva barusan.

"Gue tahu lo bohong, Del. Lo ngomong kayak gitu biar gue nggak jadi lompat, kan? Semesta aja tahu, Del, kalau hidup lo itu jauh lebih baik dibanding gue. Lo punya keluarga yang utuh. Lo punya segalanya. Apapun yang lo mau langsung diturutin. Jadi, nggak usah sok belagak jadi yang paling ngerti, deh!" kata Ashel tanpa menoleh dan matanya menatap lurus ke bawah.

"Aku juga sama kayak kamu, Ashel. Aku nggak punya orangtua. Orangtuaku tewas di depan mata kepalaku sendiri. Rasanya sakit, Shel. Sama seperti yang kamu rasakan. Aku juga rasain." ucap Reva lagi dengan napas terengah-engah dan suara yang bergetar. Matanya merah.

"Stop berbohong atau lo bakal jadi yang pertama gue gentayangin---!!"

"Papa Gito sama Mama Dey bukan orangtua kandung aku! Ka Gracia dan Ka Zee juga bukan kakak kandung aku. Aku anak tiri! Aku yatim piatu! Nggak punya saudara sama sekali!!" ucapan Reva kali ini berhasil membuat Ashel berbalik kearahnya. Menatap Reva yang masih terduduk di lantai dengan pandangan tidak percaya.

"Dulu. Saat aku masih kecil. Aku liburan sekeluarga ke gunung. Di sana ada villa. Kita menginap di situ. Suatu malam, aku kebangun mau buang air kecil. Aku bangun sendirian tanpa bangunin kedua orangtuaku. Letak toiletnya kepisah sama kamar. Aku dengar ada suara berisik di ruangan lain. Aku nggak ngira itu suara macam-macam, karena di sana emang lagi banyak tupai sama musang berkeliaran.

"Begitu aki selesai buang air kecil dan mau balik lagi ke kamar. Langkahku tertahan pas aku lihat ada ceceran darah di lantai. Aku ikutin darah itu yang ngarahin aku ke ruang depan.

"Kamu tahu, Shel, apa yang aku lihat?" tanya Reva pada Ashel yang kini sudah berdiri di depannya dengan jarak dekat. Ia benar-benar mendengarkan Reva bercerita.

"Papaku digorok dilehernya sama orang-orang bertopeng." kata Reva lagi dengan mata yang bekaca-kaca. "Aku takut banget saat itu, Shel. Tapi bodohnya aku malah sembunyi di lemari yang ada celahnya yang bisa lihat ke luar. Otomatis aku bisa lihat dengan jelas gimana Mamaku yang selanjutnya mereka bantai persis seperti Papa. Lalu keduanya mereka dudukkan ke sofa seolah papa sama mama lagi duduk berduaan."

Air mata Reva mulai mengalir, tapi ia tetap kembali bercerita. "Saat aku sadar bahwa giliran selanjutnya adalah aku sendiri. Akhirnya aku kabur dan lari dari sana dengan lewat pintu belakang. Mereka ngejar-ngejar aku sambil bawa kapak. Sampai akhirnya, aku malah jatuh ke jurang. Perutku robek. Dan aku kehilangan satu ginjal.

"Dan ketika aku bangun, orang pertama yang aku lihat adalah Papa Gito. Dia yang nyelamatin nyawaku, Shel." Reva tak lagi bisa melanjutkan ceritanya. Kali ini tangis dan sesak sudah lebih menguasai dirinya.

Dan Ashel pun juga turut menangis sambil berdiri.

Tapi tak lama kemudian, ia pun beranjak untuk memeluk Reva dengan sangat erat. Bahunya terguncang bersamaan dengan tangisan Reva yang juga terdengar pilu.

Pada malam itu, dua anak manusia yang sama-sama pernah merasakan kehilangan rumahnya itupun menangis sejadi-jadinya dengan disaksikan oleh langit malam yang tiba-tiba berubah menjadi mendung. Seakan turut merasakan dengan apa yang mereka rasakan, titik airnya pun mulai berjatuhan hingga membuat tirai yang sangat rapat membasahi tubuh keduanya.

Kehilangan memang selalu menjadi puncak paling tertinggi dari rasa sakit. Sebab, hanya sang waktu yang dapat menyembuhkan lukanya.

•••





Ditulis, 4 September 2022

🗣: Double up dong thor.
A: Gak dulu ya dik-adik 😊 aku mau konsisten up tiap hari 👌. Aku minta maaf ya gak bisa turutin. Tapi terimakasih banyak sudah jadi pembaca setia. 👍

Buat kalian semua juga terimakasih banyak, yg udah kasih vote😘, komen ngasih semangat😘, dan silent riders pun 😤

Please give me vote 😖

AFTER RAIN [48] | {Completed} (DelShel, ZeeSha, Greshan & CH2) Where stories live. Discover now