Kastara

28.2K 640 1
                                    

THIS IS ME Rall!!🦉

Terus membaca karena akhirnya tidak akan selalu sesuai tebakan.

Ini mengisahkan mereka yang terjebak dalam masalah yang sama. Mereka yang harus saling berurusan pada akhirnya.

Mari selami sampai akhir~~

***

"Kastara."

Suara bernada berat yang terdengar memanggil itu berhasil mengusik kedua telinga seorang remaja laki-laki.

Cowok tinggi dengan proporsi tubuh sempurna tersebut terlihat mengenakan seragam putih abu-abu berantakan yang dikeluarkan sepenuhnya. Ia berdecak pelan tanpa menoleh sedikitpun.

Keadaannya sekarang sudah tak bisa dikatakan rapi lagi. Seragam sekolahnya yang berwarna putih telah keluar dari yang seharusnya dimasukkan ke dalam celana abu-abunya, bahkan semua kancingnya sudah tak terpasang lagi dan menyebabkan baju kaos berwarna hitam polosnya terpampang nyata, memperlihatkan otot badannya yang tercetak jelas. Ada luka di sudut bibirnya.

"Pak Yaksa," kata Pak Nurdin berdiri menyambut. "Silahkan duduk."

Sosok pria gagah yang dipanggil pak Yaksa tersebut balas tersenyum tipis, berjalan terus mendekat dan duduk tepat di sebelah Kastara. Berhadapan langsung dengan pak Nurdin yang di antarai sebuah meja berkaki empat di tengah-tengah.

"Sebelumnya saya akan meminta maaf jika panggilan saya mengganggu Bapak," sesal Pak Nurdin terlebih dahulu memberi permintaan maaf. Karena memang sudah berapa kali ia bertemu dengan lelaki dewasa yang sedang duduk di hadapannya sekarang, dan semuanya tak jauh berbeda dengan urusan seperti yang terjadi hari ini.

"Tidak masalah Pak," segannya. "Ini memang tugas saya sebagai orang tua."

"Pencitraan," gerutu Kastara menyahut pelan namun dapat didengar oleh dua orang tua itu.

"Kastara!" tegur Pak Nurdin. "Nggak boleh gitu."

Kastara menggumam malas. "Cepetan Pak, saya malas harus satu ruangan sama orang ini."

Pak Nurdin menggelengkan kepala, dia cukup tau apa permasalahan murid badungnya itu dengan sang orang tua.

"Ini pak," Pak Nurdin tampak menyerahkan sebuah surat di dalam amplop berwarna putih. "Ini surat skorsing selama seminggu untuk Kastara."

Pak Yaksa tampak menghela napas kemudian meraih surat itu dalam jangkauan.

"Kastara telah membuat temannya cidera dan harus dilarikan ke rumah sakit," beritahu Pak Nurdin. Menatap Kastara sekilas, lantas kembali melanjutkan. "Sebenarnya kedua orang tua korban meminta agar Kastara dikeluarkan saja, tapi kami para guru sudah mencoba bernegosiasi karena prestasi Kastara cukup bagus di bidang non-akademik."

Kastara hanya diam mendengarkan. Tidak ada minat atau ketertarikan dengan pembicaraan mereka. Mendengar pujian yang terlontar mengenai prestasinya dari sang guru tidak memberikan dampak apapun pada Kastara. Biasanya kan akan timbul sedikit rasa senang atau apalah. Namun tidak untuk Kastara, cowok itu sama sekali tak peduli.

"Terima kasih Pak," ujar Pak Yaksa. "Kalau boleh tau, murid yang Kastara lukai dirawat di rumah sakit mana?" tanyanya kemudian.

Pak Nurdin tersenyum. "Kebetulan sekali mereka juga ingin bertemu dengan orang tua Kastara."

"Saya di skors seminggu kan?" tanya Kastara ingin memperjelas hukumannya berhasil menarik perhatian pak Nurdin.

Pak Nurdin balas mengangguk. Memperbaiki letak kacamata.

Menoleh kembali kepada ayah Kastara. "Mereka akan datang kemari, jadi Pak Yaksa bisa menunggu sebentar."

"Baik, saya akan menunggu." Pak Yaksa menyahut takzim.

Suara decitan kursi yang didorong ke belakang kambali berhasil menarik perhatian.

Pak Yaksa berdiri. "Kasta kamu mau kemana?"

Kastara tidak menjawab dan terus melenggang pergi keluar dari ruang BK tersebut.

"Saya susul dia dulu." Setelah mengatakan itu pak Yaksa segera berjalan cepat menyusul Kastara si keras kepala.

"Kasta tunggu!" cegat Pak Yaksa menahan pergelangan tangan Kastara yang tidak kunjung berhenti berjalan meski telah diteriaki.

Rahang Kastara yang memiliki garis tegas seketika mengeras menunjukkan betapa tidak sukanya dia dengan sosok pria yang memiliki hubungan darah dengannya tersebut.

Kastara menatap tangannya yang tengah ditahan. Mendesis pelan. "Lepas!" menyorot tajam pada pelaku.

"Kastara," panggil Pak Yaksa tampaknya terkejut dengan penolakan sang putra.

"Tuan Yaksa yang terhormat." sebut Kastara penuh penekanan sembari berbalik badan menatap sang ayah. "Kasta lagi gak mau cari ribut, jadi please Ayah pergi."

Pak Yaksa seketika terdiam, termangu di tempat ketika Kastara memanggilnya dengan sebutan ayah lagi. Sejak kejadian itu, Kastara memang mengubah gaya bahasanya dengan sang ayah. Tapi hari ini Kastara kembali memanggil dengan sebutan ayah lagi.

"Atau mau temuin anak kesayangan Ayah. Silahkan juga, dia pasti ada di ruangannya," lanjut Kastara terdengar dingin.

"Maaf Kastara belum bisa terima kehidupan baru Ayah." ujar Kastara tanpa memberikan kesempatan pada Yaksa untuk membalas.

"Kastara pergi."

"Kastara," lirih Pak Yaksa menatap punggung sang putra yang perlahan menjauh. Kastara semakin susah untuk ia jangkau dan itu semua atas kesalahannya sendiri. Yaksa akui hal itu.

"Pa!"

Panggilan yang terdengar familier di kedua telinganya sontak membuat pak Yaksa berbalik badan.

"Papa ngapain?"

"Afreen," balas Pak Yaksa sembari memberi senyum. "Papa dipanggil guru."

"Pasti Kastara kan?" tebak Afreen sangat tepat sasaran.

Pak Yaksa hanya tersenyum tanpa mengucapkan jawabannya. "Yasudah Papa masuk dulu."

Afreen mengangguk dan membiarkan sang papa memasuki ruangan BK kembali.

Tanpa disadari keduanya ternyata ada Kastara yang masih berdiri di ujung koridor dan memperhatikan interaksi keduanya dalam diam yang tak terbaca.

Mendecih sinis.

Kastara kembali melangkahkan kakinya untuk keluar dari gedung sekolah, menuju parkiran di mana motornya sedang berada. Meludah ke samping kemudian menyentuh ujung bibirnya yang terluka akibat perkelahian tadi.

"Nggak guna!" gumam Kastara mengepalkan tangan keras.

***

KASTARAWhere stories live. Discover now