TS#54

1.2K 147 38
                                    

Bagian 54: Waktu yang Kutunggu

Tentang Senja...

Setiap hariku seperti dikejar waktu. Tapi, sering aku tidak siap menghadapi hari esok. Waktu mengejar, itu artinya aku sudah harus siap dengan segala hal terburuk. Maka dari itu, aku tidak ingin hari berganti dengan cepat. Karena, aku takut, Senja...

***

Bagi Rayyan, ia tertarik dengan waktu. Karena waktu yang akhirnya membuat ia menikah dengan Alsya setelah melewati berbagai hari, tanggal, bulan, bahkan tahun untuk sampai di tahap ini. Karena waktu juga yang menguatkan dan membuatnya percaya bahwa hari ini yang terjadi, bisa tidak akan terjadi lagi di hari esok. Hari buruk tidak akan bertahan lama karena Rayyan percaya prosesnya. Allah Ta'ala tidak akan menguji seorang hamba diluar batas kemampuannya. Badai pasti akan berlalu. Semoga saja ujian hari ini sebagai penggugur dosanya.

Setelah menghabiskan hampir satu jam di dalam ruangan, Rayyan menyeka air matanya terlebih dulu, kemudian mencium tangan dan kening Alsya lagi. Setelah itu, Rayyan kembali memandang wajah cantik itu yang sedang tertidur damai. Dalam hatinya, Rayyan masih yakin ada harapan. Alsya tidak akan meninggalkannya begitu cepat. Rayyan yakin, Alsya akan melewati masa kritis dan kembali kepadanya.

Rayyan keluar, tidak lupa melepaskan masker dan pakaian khusus untuk masuk ruang ICU. Ia berjalan tanpa arah karena tidak tahu tujuannya setelah dari sana. Namun, matanya melihat Kahfi yang duduk di ruang tunggu. Pria itu juga berdiri ketika melihat Rayyan.

Rayyan berjalan mendekat dengan langkah pelan. Kahfi yang biasanya lebih banyak tersenyum dan ceria, kini ekspresinya seperti merasakan kesedihan yang Rayyan rasakan. Mereka duduk di ruang tunggu. Tak ada siapapun lagi di sana selain mereka. Karena sudah tengah malam, tersisa beberapa dokter atau petugas rumah sakit saja yang berlalu-lalang. Ini sudah waktunya istirahat. Semenjak pulang Rayyan belum mengistirahatkan tubuhnya. Bagaimana mau istirahat? Beberapa orang meninggal, termasuk ibu dan anaknya yang baru lahir, dan tersangka masih berkeliaran di luar sana. Bagaimana jika mereka tahu Alsya masih hidup dan dirawat di rumah sakit ini? Yang jelas, Alsya masih belum aman. Jadi, Rayyan tidak bisa beristirahat.

"Lo pulang aja, Ray. Gua yang tunggu di sini," ucap Kahfi.

Rayyan tertawa miris. "Ayah yang perintahkan ke sini, Bang. Dia tau hidup Aca juga gak lama, jadi dia mau ane di sini jaga Aca."

"Jangan pesimis. Kondisi Aca emang buruk. Tapi, kuasa semuanya di tangan Allah, Ray. Gak ada yang gak yang mungkin kalau Dia sudah berkehendak."

"Ane tau. Ane juga masih yakin. Tapi, ane tidak mau terlalu berharap. Ditinggal ibu dan Nasywa masih sangat membekas. Bagaimana kalau Aca pergi juga? Apa ane masih bisa berpikir waras?"

Kahfi terdiam. Kata-kata tidak akan menghilangkan kesakitan yang Rayyan rasakan. Yang bisa Kahfi lakukan hanya menguatkan Rayyan. Lagipula, Kahfi bukan Rayyan yang kehilangan ibu dan anaknya di waktu bersamaan, belum lagi istri yang dicintainya belum sadar dan kondisinya juga buruk. Mungkin Kahfi baru bisa merasakan ketika sudah menikah dan punya anak, dan kejadian ini menimpanya. Baru Kahfi bisa tahu bagaimana sakitnya di posisi Rayyan.

"Oh ya, Bang, ada info di mana handphone Aca dan ibu? Supir yang bawa mereka juga apa gak ada handphone?"

Kahfi menggelengkan kepala. "Kata Om Radit, Aca gak bawa handphone waktu berangkat, kemungkinan lupa dimasukin ke dalam tasnya. Kalau handphone Tante Airin ada di tempat kejadian dan kondisinya sudah hancur. Kalau Pak Dana gak bawa handphone, dan gak ada yang tau handphone Pak Dana di mana."

Tentang Senja [VERSI REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang