TS#46

1.4K 145 14
                                    

Bagian 46: Menunggu Senja

Tentang Senja...

Saat ini tak ada kata yang mampu menggambarkan rasa bahagiaku. Bagiku, setiap hari langit senja selalu bersinar cerah. Dan, kini aku bisa memandangi langit senja bersama wanita yang bernama senja.

***

Sudah sejak pagi Anza berangkat dari rumah berniat untuk ke butik lebih pagi. Namun, diperjalanan ia meminta supirnya melewati jalur yang lain. Yang pasti bukan arah menuju butik. Perjalanan memakan waktu yang cukup lama, sekitar satu jam menuju daerah Makasar, Jakarta Timur. Mobil akhirnya berhenti di depan gerbang menuju batalyon angkatan udara yang masih satu lingkungan dengan bandara Halim Perdana Kusuma.

Dari dalam mobilnya, Anza mencoba menghubungi seseorang. Yang kemudian, sekitar 10 menit menunggu terlihat seorang pria berlari dari arah dalam gerbang batalyon. Anza pun keluar dari dalam mobil dan mengangkat salah satu tangan agar pria itu melihat keberadaannya.

Terlihat bordir nama 'Kahfi' di dada sebelah kanan seragam PDL warna birunya. Pria bertubuh tinggi dan berkulit putih itu tersenyum ketika menghampiri Anza.

"Ada apa, Za? Ngapain jauh-jauh ke sini tanpa ngabarin dulu?" Tanyanya ketika sampai di hadapan Anza.

"Aku mau bicara sebentar," jawab Anza pelan.

Kahfi mengernyitkan dahi. Kemudian, mengikuti Anza masuk ke dalam mobil. Supir yang mengantar Anza tadi keluar sebentar untuk memberikan ruang Anza dan Kahfi bicara berdua.

Kahfi masuk ke dalam kursi penumpang di samping supir, sedangkan Anza di belakang.

"Mau bicara apa, Za? Kenapa tidak kabari Abang kalau mau datang. Kan, bisa kita bicara di tempat yang lebih nyaman."

"Aku cuma sebentar," jawab Anza.

Akhirnya Kahfi pun tidak bertanya lagi dan menunggu Anza bicara yang ingin ia sampaikan. Di sisi lain Kahfi pun penasaran.

"Kata Rayyan, Bang Kahfi suka aku. Itu benar?"

Kahfi langsung menoleh ke belakang dan melihat wajah Anza. Ternyata, tentang itu sampai membuat Anza pagi-pagi mendatanginya ke batalyon.

"Iya, Za," jawab Kahfi pelan tanpa berpikir.

"Sejak kapan? Dan, apa alasannya?"

"Sudah cukup lama. Gak ingat persisnya kapan. Untuk alasan, tidak ada. Abang sama seperti Rayyan yang mencintai Alsya. Tidak ada alasan khusus, karena memang cinta tidak bisa diarahkan berlabuh pada siapa."

Anza terdiam cukup lama mencoba memahami jawaban Kahfi. Sebenarnya, ia hanya menganggap Kahfi seperti kakaknya sendiri seperti pada Aziz juga, karena memang sosok Kahfi itu seperti Abang tertua untuknya, Alsya, Rayyan, dan juga Aziz.

"Jangan, Bang. Jangan suka aku. Aku gak bisa balas perasaan Abang," ucap Anza.

Kahfi tersenyum dan mengangguk pelan. "Iya, Za. Abang tau. Kamu tenang aja. Perasaan ini akan Abang pendam sampai nanti hilang. Kamu jalani hidup saja apa yang buat kamu bahagia. Jangan pikirkan Abang. In Syaa Allah, Abang udah ikhlas."

"Maaf, aku cuma anggap Abang sebagai kakak aku."

"Hm. Gak apa-apa." Kahfi menoleh lagi ke belakang untuk melihat Anza yang menahan tangis. "Terima kasih, Za. Abang sedikit lega udah menyampaikan perasaan Abang. Kalau kamu gak datang hari ini, mungkin Abang gak akan pernah ngasih tau kamu tentang ini. Karena kamu udah tau, kamu bisa lupain."

Tentang Senja [VERSI REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang