TS#28

1.5K 144 13
                                    

Bagian 28: Firasat

                        

Hidup itu seperti perjalanan. Tak akan berhenti bila belum sampai tujuan. Bahkan jika lelah, pasti dipaksa untuk melanjutkannya lagi. Jika ada angin topan dan batu besar yang menghadang, pasti dituntut untuk bisa melewatinya. Tak mudah memang jika di perjalanan kerap kali mendapat ujian atau cobaan. Tapi, sepanjang dan selelah apapun di perjalanannya, cobalah untuk berhenti sebentar, nikmati sakitnya. Karena tak selamanya yang dirasakan akan tetap bertahan.

Pertama kalinya Rayyan tidak berpamitan langsung dengan ibunya. Saat ini ia hanya mengirim pesan, tapi belum ada tanda centang biru yang berarti pesan sudah terbaca. Hubungan Rayyan dengan ibunya belum juga membaik. Rayyan mengerti karena kesalahannya tidak akan mudah dimaafkan.

Ia menyimpan ponselnya di dalam sebuah loker. Setelah itu, ia mengikuti anggota yang lain bersiap-siap dengan memakai perlengkapan, seperti rompi/vest, sabuk/kopelriem, ransel, topi tempur, headset radio komunikasi, senapan dan lainnnya. Setelah siap mereka keluar dari markas komando dan pesawat hercules sudah menunggu.

Sejenak ia memikirkan apa yang terjadi ke depannya. Hidupnya memang seperti ini. Selalu ada perintah di mana ia harus pergi dan kembali. Tapi, kali ini entah kenapa ia jadi memikirkan bagaimana jika Allah Ta'ala yang menyuruhnya pulang? Ia tak siap, ah lebih tepatnya belum siap.

Ini yang dimaksud perjalanan hidup. Menjadi prajurit Allah dan negara memang sangat membanggakan. Bagaimana tak ada yang mudah dan instan. Ia bahkan meninggalkan masa muda demi cita-citanya mengabdi pada negara. Sudah tidak terhitung lagi berapa liter keringat yang tumpah saat latihan dan bertugas. Menjadi seperti dirinya bukanlah untuk bergaya-gayaan. Karena jalan semua prajurit sangat sulit. Tak pernah ada yang tahu letihnya selama ini. Tapi, sampai sekarang ia yakin, lelahnya ini akan terbayarkan di masa yang akan datang.

Kembali ia memikirkan yang terjadi tadi siang. Ia sama sekali tidak ingin itu menjadi pertemuan terakhirnya dengan Alsya. Yang dikatakannya tak benar-benar dari hatinya. Ia ingin Alsya menunggu kepulangannya.

Rayyan menghela napas pelan sebelum pesawat lepas landas. Tangis, marah, dan senyum Alsya malah memenuhi otaknya. Bagaimana Rayyan bisa melupakan Alsya jika ia masih memikirkannya?

"Kali ini aku hanya mengagumimu seperti awal, agar tak ada harap yang membuatku ingin memilikimu. Terima kasih atas waktu yang menjadi kenangan indah untukku."

_________________


"Kamu mau ke mana?"

"Ke tempat di mana semua umat-Nya mengatakan kalau itu adalah tempat berpulang."

"Jadi, kamu gak akan balik lagi?"

Sosok itu menggelengkan kepala.

"Kenapa?"

"Karena sudah waktunya dan Dia memerintahkanku untuk kembali pada-Nya."

"Kalau aku minta kamu tetap di sini?"

"Maaf, tak ada takdir mubram yang bisa diubah."

"Begitu?"

Sosok itu menganggukkan kepala pelan seraya tersenyum. Senyum dan wajahnya sangat cerah bila dipandang. Kemudian sosok yang keseluruhannya bercahaya itu perlahan menghilang.

Alsya terbangun dari tidurnya. Keringat seperti membanjiri tubuhnya. Ia memutar tubuh untuk melihat jam weker yang berada di atas nakas. Ternyata jam setengah tiga. Ia mengusap wajahnya yang berkeringat, kemudian beranjak dari tempat tidur untuk mandi dan bersiap sholat malam.

Tentang Senja [VERSI REVISI]Where stories live. Discover now