TS#25 (1)

1.3K 137 16
                                    

Bagian 25: Apa Arti Keluarga?

               

Setelah kakaknya pergi dari rumah, istana milik Papanya terasa sangat hening dan sepi. Tidak ada obrolan akrab lagi di meja makan saat sarapan atau makan malam. Tidak ada tawa Papa dan Mamanya saat mendengar banyolan kakaknya. Dan, tidak ada sosok kakaknya yang setiap malam sebelum tidur membuat susu cokelat di dapur. Kini kamar bernuasa malamnya juga terasa hampa.

Langkahnya berhenti di ruang makan, melihat Mama dan Bi Kokom, salah satu ART, sedang menyiapkan makan malam. Kemudian matanya memandang Mamanya yang tersenyum merekah dan mengibaskan tangan menyuruhnya menghampiri mereka. Ia pun ikut tersenyum dan membantu mereka. Setelah semua makanan tersuguh di meja makan, dia dan Mamanya duduk.

Mamanya mulai mengambil makanan, sedangkan ia masih terdiam memandangi kursi yang biasanya diisi oleh pria yang menjadi kepala keluarga di rumah itu. Melihat putrinya malah diam saja, ia jadi menoleh ke arah putrinya.

"Kenapa diam aja, hm?"

"Bukannya tadi sore Papa udah pulang, ya? Kok gak ikut makan malam?"

"Tadi abis sholat maghrib, Papa berangkat lagi."

"Kenapa? Tugas lagi?"

Ameera menggelengkan kepala. "Katanya dia mau nengok kakak kamu."

Matanya jadi menyendu mendengar itu.

"Kak Aca kapan pulang?"

"Hm? Mama gak tau. Mungkin Papa juga bakal bujuk kakak kamu pulang lagi."

"Anza udah keterlaluan ya, Ma?" tanyanya lagi. Ameera jadi terdiam. "Anza tokoh jahat di hidup Kak Aca, ya?"

Sendok dan garpu yang Ameera pegang terlepas. Kemudian dirinya memeluk putri bungsungnya yang jadi terisak di pelukannya.

"Papa marah. Papa udah gak mau bicara lagi sama Anza. Anza yang salah, kan?"

Mata Ameera berkaca-kaca. Ia tidak menjawab dan lebih mengeratkan pelukannya sambil terus mengusap-usap punggung Anza.

"Anza kenapa sih, Ma? Kenapa Anza gak bisa tahan emosi kemarin? Kenapa Anza nyelakain Kak Aca lagi?"

Hati Ameera merasa teriris. Ini kedua kalinya Anza merasa sangat bersalah. Hatinya semakin sakit karena suami dan putri sulungnya tidak pernah tahu penyesalan putri bungsungnya.

"Ma..." Anza melepaskan pelukannya dan memandang wajah Ameera. "Papa benci Anza, ya?"

Ameera tersentak dan buru-buru menggelengkan kepala.

"Nggak. Papa sayang sama Alsya. Papa juga sayang sama kamu. Begitupun dengan Mama. Mungkin kesalahan kamu terlalu besar menurut mereka. Mungkin juga mereka butuh waktu buat memaafkan semuanya. Setiap orang pasti pernah buat kesalahan. Dan, setiap orang juga berhak mendapat sebuah pengampunan."

"Kak Aca hampir meninggal gara-gara Anza, Ma..."

"Gak usah bahas itu lagi."

"Kenapa Mama selalu melindungi Anza daripada Kak Aca?"

"Mama cuma gak mau Papa kamu terus menyalahkan kamu. Kamu gak perlu bahas itu lagi. Alsya juga tidak ingat kejadian itu. Jadi, itu bukan salah kamu." Ameera kembali memeluk Anza singkat. "Sudah. Alsya pasti kembali ke sini. Kita lanjut makan. Abis ini kamu istirahat, jangan tidur malam-malam lagi."

Mereka melanjutkan makan malam yang sempat tertunda. Setelah selesai, Anza dan Ameera kembali ke kamarnya masing-masing untuk beristirahat.

Ameera duduk di atas kasur dan menyenderkan kepalanya ke kepala ranjang. Kepalanya terasa berat dengan berbagai masalah yang menimpa keluarganya. Memorinya memutar kejadian kemarin malam.

Tentang Senja [VERSI REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang