12. (Bhuwakul Fam) Kenyataan

134 39 5
                                    

Hari yang ia tunggu-tunggu tiba. Bambam tersenyum, menatap pantulan dirinya di depan cermin. Tak lama, pintu kamar terbuka, menampakkan sosok ibunya yang berjalan mendekat.

"Putera Eomma sangat tampan," puji wanita paruh baya itu.

Bambam menoleh, dan senyumannya semakin lebar.

"Terimakasih untuk persiapan pesta yang sangat mengagumkan, Eomma. Aku menyayangimu," bisik Bambam di akhir kalimat.

Ibunya mendekat dan mengusap pundak Bambam. "Ini hari bahagiamu. Jangan sampai hal sekecil apapun merusaknya, hm?" Ia tersenyum.

Lantas setelahnya, mereka beriringan pergi keluar hotel, menuju tempat pernikahan berlangsung, di tepi pantai.

*

Sujeong berjalan amat ringkih, namun juga kuat di saat bersamaan. Kedua tangannya berada di atas perutnya yang besar, sedangkan matanya tetap terfokus pada sebuah tempat berdekorasi serba putih di depannya.

Saat hanya tinggal beberapa langkah lagi dari tempat yang ia tuju, ia bisa melihat lelaki yang benar-benar ia kenali berdiri di depan altar, menyambut tangan seorang wanita yang ia lihat kemarin.

Sujeong mempercepat langkah, setengah berlari ke depan altar.

"Bambam!" teriaknya.

Ikrar nikah yang hampir terucap, terhenti. Bambam berbalik, berbarengan dengan wanita di sisinya, Lisa.

Dengan lunglai, Sujeong berjalan mendekat, menghampiri Bambam dan Lisa. Sujeong tidak tahu bahwa ia yang sejak tadi bertekad kuat, tiba-tiba menjadi begitu rapuh setelah berhadapan langsung dengan Bambam.

Kedua bola mata Sujeong menatap Bambam dengan sendu. Saat sampai tepat di hadapan Bambam, Sujeong berhenti.

"Bam, ada apa denganmu?" lirih Sujeong sendu. Kristal-kristal bening berjatuhan deras dari pelupuk matanya yang membengkak. "Kenapa kau menikahi gadis lain? Bukankah..."

"Kau lagi?" respon Bambam, memotong pembicaraan Sujeong.

Sujeong terdiam, mendengar nada bicara Bambam yang begitu datar. Dulu Bambamnya tidak pernah begini. Dia tidak pernah marah, membentak, atau mengabaikan Sujeong. Dia amat mencintai Sujeong dan wajahnya senantiasa dipenuhi senyum saat menatap Sujeong.

"Bam, aku Sujeong! Aku istrimu. Bagaimana bisa kau melupakan aku begitu saja! Aku bahkan hamil anakmu, Bam. Aku..."

Tenggorokan Sujeong tersekat saat seorang wanita paruh baya meraih lengan atasnya dengan begitu keras. Sujeong menoleh, kemudian berlutut di hadapan orang itu.

"Eommonie, kumohon jelaskan padaku apa yang terjadi? Kenapa Bambam tidak mengenaliku? Dan tolong hentikan pernikahan ini! Kumohon... Aku sedang mengandung anaknya Bambam yang juga cucumu. Kumohon!" isak Sujeong amat keras.

Namun respon ibu mertuanya amat jauh dari apa yang Sujeong ekspetasikan.

"Kau siapa, hm? Apa maksudmu mengacau pernikahan anakku? Pergilah, bedebah!" ucap wanita paruh baya itu tajam, menembus ke relung hati Sujeong.

Tangis Sujeong semakin pecah. Belum lagi perutnya yang tiba-tiba kesakitan. Ia yakin, anak dalam kandungannya juga tengah menangis saat ini.

"Eommonie! Eommonie, kumohon!" Sujeong mengiba, memegang kaki-kaki ramping wanita itu dan memeluknya sambil terus terisak keras.

Di sana, Bambam hanya menyaksikan dalam diam. Tak ada tampang kasihan sama sekali. Ingin rasanya Sujeong menangis semakin keras. Rasanya amat menyakitkan.

Dari ibu mertuanya, Sujeong beralih pada Bambam. Berlutut memegangi kaki lelaki itu dengan isakkan keras yang menyayat hati.

"Bam, kumohon hentikan pernikahan ini, Bam. Kau tahu, kau sangat mencintaiku. Aku tidak peduli jika saat ini kau tak ingat. Tapi... tapi, aku bersumpah akan membuatmu mengingat semuanya. Aku bersumpah akan membuatmu mencintaiku lagi. Percayalah, Bam. Hentikan pernikahan ini!" isak Sujeong di bawah kaki Bambam.

Dan respon lelaki itu?

Ia mengibas-ngibaskan kakinya, seolah ingin mengenyahkan Sujeong. Tatapannya tajam, tegas, dan menyala marah.

"Bam, aku bahkan sedang mengandung anakmu! Kumohon..."

"Pergilah, kau menghancurkan pernikahanku, brengsek!"

Tepat setelah mengatakan itu, Sujeong terpental jatuh di atas aspal dengan perut yang kesakitan parah. Tatapan-tatapan orang di hadapannya begitu menusuk, menghunus hati Sujeong.

Tak ada dari mereka yang memiliki sedikit pun hati nurani. Setidaknya, menolong Sujeong yang saat itu kesakitan dengan darah mengalir di antara kedua pahanya. Sujeong hanya menangis dalam hening. Disaksikan oleh para tamu undangan yang juga tak melakukan apapun.

Di tengah kemelut hatinya, seseorang memanggil-manggil nama Sujeong. Awalnya begitu samar, tapi lama kelamaan semakin jelas dan membuat telinga Sujeong berdengung.

Sujeong menyisir pandang ke sekeliling. Mencari seseorang yang memanggilnya. Namun, netranya malah terpaku pada satu pemandangan, di mana teman-temannya: Yein, Jiae, dan Kei duduk di salah satu kursi tamu, menatap Sujeong dengan tatapan datar tanpa ekspresi.

Susah payah Sujeong berdiri menghampiri mereka, yang semakin Sujeong dekati malah semakin jauh.

"Sujeong! Sujeong!" panggilan itu semakin keras dan jelas, membuat Sujeong terduduk, menutup kupingnya dengan telapak tangan.

"Sayang, bangunlah!"

Sujeong merasa jantungnya terhenyak. Mencelus dan kemudian kembali dengan detakkan keras yang begitu menyakitkan.

"BAM!" Sujeong memekik, menyaksikan Bambam berada tepat di hadapannya.

Tanpa pikir panjang, Sujeong memeluk tubuh pria di hadapannya. Pria yang sejak tadi memanggilnya.

"Kumohon jangan nikahi wanita itu, Bam. Kumohon." Sujeong terisak keras di pelukan Bambam, melupakan betapa kejamnya perlakuan Bambam barusan. "Jangan nikahi dia. Jangan..."

"Tenanglah, Jeong. Tenang. Apa yang terjadi padamu, hm?" gumam Bambam seraya mengelus punggung ramping Sujeong.

Ini benar-benar pelukan yang nyata. Pelukan hangat seorang Bambam. Sujeong memejamkan mata, dengan tangis yang masih tiada henti. Tangan-tangan kecilnya memeluk Bambam kuat, seolah tak ingin melepaskannya sampai kapan pun.

"Kau mengingatku, kan, Bam? Jadi kuomohon, jangan menikah dengannya, Bam. Jangan." Sujeong masih meracau tak jelas, memejamkan matanya dengan sangat erat. Ketakutan.

"Lepaskan dulu, Jeong." Bambam melerai pelukan dengan paksa. Ditatapnya wajah pucat Sujeong yang menatapnya sendu. "Kau bermimpi buruk, hm?" tanya Bambam.

Sujeong menggeleng pelan, namun masih terisak.

"Aku tidak menikah dengan wanita mana pun, Sayang. Kau hanya bermimpi," gumam Bambam, mengusap air mata yang terus mengalir deras di pipi Sujeong.

Kemudian detik berikutnya, Bambam mengangkat tubuh Sujeong dan menidurkannya di atas ranjang.

"Apa kau sakit, hm? Kenapa kau bisa tidur di lantai?" tanya Bambam lagi.

Sujeong yang kesadarannya mulai utuh, menyisir pandang ke sekeliling. Ia lantas mengernyit. Ini kamarnya dan Bambam di Seoul. Ia tidak berada di Jeju sekarang.

Sujeong menatap kosong, bingung. Tangannya meraba-raba perutnya, dan masih datar. Lantas tiba-tiba, ia kembali menghambur ke pelukan Bambam.

Itu hanya mimpi. Semua itu hanya mimpi.

"Jangan tinggalkan aku lagi, Bam. Jangan..." isak Sujeong keras di pelukan Bambam.

Sujeong merasa sesak sekaligus lega. Ternyata semua itu hanyalah mimpi. Mimpi yang terasa begitu nyata, sehingga membuatnya hampir mati saat membayangkannya.

Pelukan Sujeong mengerat, tak berniat melepaskannya. Sujeong takut. Amat takut.

***

Hehe, udah udah. Sujeong cuma mimpi. Yang teliti bacanya pasti ngeuh deh, ada bbrpa kejanggalan. Ada beberapa plot hole, yang bikin sakit kepala.
Karena sengaja. Iya, mimpi kan suka gitu. Sesempurna apapun sebuah mimpi hingga terasa seperti nyata, tetap saja akan selalu Ada kesalahan di dalamnya.

Marriage Life Lovelyz ➖ HiatusDonde viven las historias. Descúbrelo ahora