10. (Kim Fam) Terbiasa Denganmu

288 46 2
                                    

Hari itu masih sama. Udara dingin membuat semua orang tak ingin jauh dari selimut dan kasur yang empuk. Tapi bagi seorang Kei, bermalas-malasan hanya akan membuat hidupnya semakin sulit. Belum lagi kematian ibunya yang belum lama masih terus mengganggu pikirannya. Kei ingin menyibukkan diri, apapun caranya.

"Kau memiliki pacar, huh?"

Kei mengkerutkan kening begitu Honggi berkacak pinggang di depan kamarnya, dengan pertanyaan aneh yang tak Kei mengerti.

"Apa maksudmu?"

"Seseorang yang beberapa hari lalu mengantarmu pulang. Dia kekasihmu?" tanya Honggi lagi.

"Apa? Maksudmu, Myungsoo oppa?" Kei terkekeh di akhir kalimat. "Dia hanya seniorku di kampus. Tidak ada apapun di antara kita."

Oke, Kei mengatakan tidak ada apapun, tetapi pipinya merona sekarang.

"Tidak ada apapun? Lalu kenapa kalian keluar berdua di akhir pekan seperti ini?"

Kei mendongak, menatap Honggi bingung.

"Dia ada di luar. Menunggumu."

"APA?" Kei memekik kaget, dan lalu ngacir meninggalkan Honggi yang semakin bingung dibuatnya.

Kenapa dia kemari tanpa mengabariku?

"Jiyeon!"

Astaga. Dia benar-benar ada di depan rumah Honggi.

"Oppa, kenapa kau di sini?" tanya Kei hati-hati.

"Karena aku tak ada kerjaan di rumah."

"Tapi, Oppa..., aku harus pergi bekerja."

"Maka aku ikut."

"Oppa!"

"Bukankah kau yang menyuruhku periksa ke psikiater saat aku melukai diriku sendiri? Psikiater bilang aku tidak boleh sendirian dan harus melakukan banyak aktivitas."

Kei mendesah pelan, menatap Myungsoo dengan sedikit sebal.

"Jadi?"

"Kita kencan!"

"Apa?"

"Dokter bilang, jika aku terluka oleh cinta maka, obatnya adalah cinta yang lain."

***

Hari itu terasa indah bagi Kei. Saat ia menghabiskan begitu banyak waktu bersama Myungsoo dan belajar arti kata cinta. Kei terpedaya dengan kelembutan yang Myungsoo beri. Kei berpikir, mungkin Myungsoo telah sembuh dari luka lamanya.

Kei melangkah perlahan dengan Myungsoo. Saling menggenggam hingga sebuah ikrar pernikahan terucap. Tak ada keraguan, tak ada kegamangan. Kei pikir semua baik-baik saja. Myungsoo yang mencintainya, dan ia yang mencintai Myungsoo. Keduanya terlihat saling mencintai. Tak peduli bahkan saat sebuah badai datang bertubi-tubi.

Namun semua spekulasi itu patah saat Kei mengetahui semuanya.

Tidak. Tidak pernah ada cinta di antara mereka. Yang ada, hanya sebuah hubungan yang mengikat keduanya. Yang satu merasa ikatan itu simbolis cinta, dan yang satu merasa ikatan itu adalah sebuah tanggung jawab.

Kei terisak semakin keras, menyembunyikan wajahnya dengan kedua telapak tangan saat kenangan-kenangan mereka terlintas. Ini sangat menyakitkan.

"Aku tahu aku amat buruk."

Kei menggeleng keras saat suara orang di depannya terdengar. Hatinya semakin remuk tak bersisa. Suara itu... terdengar amat putus asa. Tapi Kei tak ingin terbohongi lagi. Tidak ingin.

"Aku amat bodoh, amat brengsek, dan amat tak berguna," lanjutnya. "Maka dari itu aku butuh kau untuk menyempurnakanku."

Kei menghapus air matanya, meski lagi-lagi itu terus menetes.

"Bukan aku yang bisa menyempurnakanmu, tapi dia."

Kei berjalan mundur perlahan, seraya tetap menatap Myungsoo dengan tatapan hampa.

"Tidak tidak!" Myungsoo meraih Kei kembali. Mendekapnya. Tak peduli meski Kei memukulinya lagi.

"Hentikan ini. Jangan berbohong lagi. Aku lelah." Kei tak lagi bertenaga. Seandainya Myungsoo tak mendekapnya, mungkin tubuh Kei telah meluruh ke atas permukaan tanah.

Patah hati memang amat melelahkan. Menyerap habis semua tenaga hingga emosi.

"Aku tidak berbohong, Kei. Aku sungguh-sungguh. Aku membutuhkanmu."

"Kau tidak. Kau mencintainya."

"Lalu persetan dengan cinta jika ternyata yang hatiku butuhkan hanyalah dirimu!" Myungsoo memeluk Kei semakin erat, meremas bahu wanita itu dan terisak di ceruk lehernya. "Aku tidak bisa kehilanganmu. Aku terbiasa dengan hadirmu."

"Maka kau juga akan terbiasa tanpaku setelah ini."

"Tidak tidak, Kei. Tidak bisa!" Myungsoo menangis tak terkendali. Hatinya sakit mendengar itu. Ia tak bisa.

"Kita hentikan pembicaraan ini dan pergilah, Oppa." Kei melerai pelukan sekuat tenaga, bahkan perlu mendorong Myungsoo agar pelukannya terlepas.

"Kei. Jangan lakukan ini! Katakan padaku apa yang harus kulakukan, hm? Apa?" tanya Myungsoo cepat. "Haruskah aku memutuskan hubunganku dengan Dain di depan matamu, hm? Akan kulakukan!"

"Tidak, Oppa. Kubilang pergi saja."

"TIDAK!" Myungsoo berteriak. "Lihat lihat. Aku akan menelponnya!" Myungsoo mengeluarkan ponsel dan mendial nomor Dain.

Kei hanya menggeleng tak peduli meski air matanya menetes.

"Halo, Dain-a. Aku minta maaf, kita sebaiknya putus. Aku sudah menikah."

"Oppa? Kau becanda?" suara di seberang sana menyahut.

Kei segera merebut ponsel Myungsoo dan memutuskan panggilan. "Hentikan. Kau tidak perlu melakukan ini!" ucapnya, menatap Myungsoo lurus-lurus. "Aku tetap pada pendirianku."

"Kei."

"Pergilah." Kei berbalik, baru melangkah beberapa kali sampai akhirnya berhenti karena seruan Myungsoo.

"Apa jika aku mati kau akan tetap melakukan ini?"

Kei memejamkan matanya, tetap berjalan lurus meski hatinya benar-benar ingin berhenti. Logika mengingatkannya untuk tetap pada pendirian, jangan lagi goyah. Namun...

"APA JIKA AKU BENAR-BENAR MATI KAU AKAN MEMAAFKANKU?" teriak Myungsoo.

Kini Kei berbalik, menatap Myungsoo marah. "Jangan pernah bermain-main soal kematian! Kau tahu aku tidak menyukainya!" bentak Kei kemudian berlari, benar-benar masuk ke dalam rumah Honggi dengan air mata yang mengucur deras.

Sedangkan Myungsoo bergeming. Tetap berdiri menatap pintu yang tertutup keras. Hingga setelah beberapa saat kemudian, tubuhnya meluruh ke atas tanah dan ia terisak keras di sana.

Hidup terkadang memang menyesakkan. Selalu saja ada moment di mana hal menyakitkan terasa menghimpit perasaan.

Myungsoo ingin menyerah. Jantungnya terasa amat sakit. Tapi hatinya masih terus mengingatkan bahwa ia masih memiliki kesempatan.

Tidak akan pernah ada perpisahan. Jikalau pun ada, bukan perceraian melainkan kematian yang memisahkan.

***

Marriage Life Lovelyz ➖ HiatusOnde as histórias ganham vida. Descobre agora