15. (Jeon Fam) Kenapa dengan Kita?

327 64 11
                                    

Ternyata, menyesal itu sakit. Ternyata, menyesal itu sulit. Yah, menyesal itu lebih tepatnya, berat. Terlalu banyak kata 'andai' yang merasuki pikiran orang yang menyesal. Seperti halnya Jungkook, selalu berandai-andai: seandainya Jungkook mengerti Yein, seandainya Jungkook percaya Yein, seandainya Jungkook lebih peka, dan seandainya-seandainya yang lain.

Semakin banyak kata seandainya yang muncul maka, semakin sesak pula perasaan Jungkook. Yah, semakin sesak karena kata seandainya hanya menunjukkan betapa pengecutnya dirinya.

Jungkook berlari kecil saat rintik-rintik hujan yang halus melebur ke bumi. Dibukanya mantel yang ia pakai dan menyampirkannya di bahu wanita yang sejak tadi ia ikuti.

"Kook." Wanita yang tak lain adalah Yein itu --menoleh. "Kenapa masih mengikutiku? Pergilah..."

"Aku hanya ingin memastikan kau aman. Itu saja."

"Bukankah sudah kubilang bahwa aku baik-baik saja? Aku bisa pergi sendiri."

"Aku tidak peduli, In. Aku tidak mau kau pergi sendirian seperti ini," balas Jungkook seolah tak peduli dengan perkataan Yein.

"Lalu sampai kapan kau akan mengikutiku? Bukankah seharusnya kau ke kantor?" sentak Yein.

Jungkook tersenyum miris, sejenak mengalihkan tatapan sebelum akhirnya kembali menatap Yein tepat di manik matanya. "Bagaimana bisa aku bekerja sementara aku tidak tahu keadaanmu? Jauh darimu membuatku waswas, In."

Yein terdiam, namun selanjutnya berkata, "Aku bukan anak kecil."

"Aku tahu. Tapi apa tadi? Kau hampir saja tertabrak jika aku tidak menarikmu. Kau tahu, In, jantungku mencelos. Aku ketakutan setengah mati kehilanganmu!"

Hening. Yein mengalihkan tatapannya ke jalanan yang padat, daripada menatap Jungkook yang membuat hatinya kesakitan.

Namun di tiga detik selanjutnya, lengan kokoh Jungkook sudah melingkar di bahu Yein, membawanya berjalan meninggalkan tempat mereka berdiri tadi.

"Kau bisa pulang, Kook. Aku akan ke rumah Appa sekarang."

"Tidak."

Seketika Yein menoleh, saat Jungkook menolak permintaannya dengan tegas.

"Bukankah kau masih memiliki tempat yang harus kau kunjungi hari ini?" lanjut Jungkook.

"Aku bisa pergi tanpamu," balas Yein.

"Ya, kau bisa. Aku yang tidak bisa."

Yein diam, enggan menjawab. Bahkan saat Jungkook merangkulnya menuju mobil pun, Yein masih diam.

"Kau sudah makan?" tanya Jungkook setelah hening cukup lama.

Jungkook menoleh pada Yein saat tak ada tanggapan apapun dari wanita itu. Kemudian menghentikan mobilnya dan menatap Yein.

"In, sampai kapan kau begini? Sampai kapan mendiamkanku?" tanya Jungkook putus asa. "Aku minta maaf karena aku tidak mempercayaimu beberapa waktu lalu. Tapi aku bersumpah, In, aku mencintaimu. Aku harus bagaimana agar kau mau pulang, hm? Katakan, aku harus bagaimana?"

Yein tetap bergeming, memilin jemarinya di atas pangkuan. Tidak, bukannya Yein tidak ingin menjawab. Namun Yein sendiri bingung harus mengatakan apa. Hatinya gamang, antara masih sayang, namun sulit memaafkan.

"Antarkan aku pulang, Kook." Yein menatap datar, memasang tembok tinggi yang menutupi kerapuhannya.

Sejujurnya, ini juga sulit bagi Yein. Satu sisi ia merindukan Jungkook di sisinya, tapi satu sisi hatinya selalu terluka setiap kali menatap wajah itu. Wajah yang tempo lalu menatapnya dengan tatapan seperti orang asing.

"In."

"Ke rumah Appa," lanjut Yein, tak ingin Jungkook salah menafsir.

***

Sebenarnya di sini siapa, sih, yang salah? Siapa yang menyakiti dan tersakiti? Baik Yein maupun Jungkook tidak tahu. Mereka sama-sama menyakiti, tapi juga sama-sama tersakiti. Mereka tak berniat melukai, tetapi tanpa sadar, hal itu memang sudah terjadi. Mereka saling melukai, tanpa tahu bagaimana cara untuk saling menyembuhkan.

Kini, keduanya duduk dalam hening. Sama-sama hampa di dalam sana. Yang satu rindu, terluka dan menyesal. Satu lagi rindu, terluka, benci, tapi cinta.

Sebenarnya ada apa dengan kita? Mungkin pertanyaan itu muncul di benak keduanya.

Saling mencintai, tapi merasa kecewa. Bersisian, tapi terasa jauh. Saling menggenggam, tapi tak saling percaya. Keduanya bingung oleh keadaan, dan bingung oleh hati mereka yang seakan tak sama.

Mobil berhenti di depan pekarangan Appa Yein. Keheningan terasa semakin nyata, menciptakan kecanggungan luar biasa bagi keduanya.

Hingga, akhirnya suara Yein memecah keheningan.

"Kook, kuharap ini terakhir kalinya kau membuntutiku," ucap Yein, membuat Jungkook menoleh.

Merasa tatapan Jungkook begitu gusar,  Yein melanjutkan, "Bukan. Maksudku, kau seharusnya jalani hidupmu dengan semestinya. Tidak perlu khawatirkan aku. Kau punya hidupmu sendiri yang juga harus kauperhatikan."

Baru saja Jungkook hendak menjawab, Yein sudah turun dari mobil buru-buru. Meninggalkan Jungkook dengan ke-tidak mengertiannya dengan kalimat yang ia lontarkan barusan.

Jungkook mendesah frustasi, menjambak rambutnya seraya mengerang pelan. Tahu rasanya berjuang namun tak diberi kesempatan? Sakit, bukan? Ya, Jungkook pun begitu.

Butuh waktu beberapa lama bagi Jungkook untuk meninggalkan halaman rumah Appa Yein. Rasanya, sebagian dari jiwa Jungkook hilang, lenyap. Yang tersisa hanyalah raga Jungkook, dengan jiwa yang setengah mati.

***

Marriage Life Lovelyz ➖ HiatusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang