Part 48 : Bingkisan

Mulai dari awal
                                    

''Nggak ... aku nitip gawean. Dan tolong bilangin pada Mbak Fenny, aku ijin hari ini!''

''Huh ...'' Donggi bersingut memasang wajah jeleknya. Sumpah, jadi tambah jelek dia. Pernah lihat gambar di uang kertas 500-an jaman old? Nah, kira-kira seperti itu. Hehehe ...

Cinta memang terkadang rumit

Membuat hati gamang dan sulit

Namun cinta akan melakukan apa saja

Meski melawan arus logika

Aku berlarian kecil menyusuri jalanan beraspal menuju halte busway. Aku akan on the way. Menuju istana hati yang hampir tercerai berai. Keegoan dan ketidakdewasaan merebut posisi kenyamanan dalam hubungan percintaan yang asoy geboy. Menciptakan dinding penghalang yang memisahkan ikatan batin hingga terurai. Aku ingin cepat berdamai. Menumbangkan kendala hingga selesai.

Oke, setelah hampir dua jam aku berjibaku di tengah lika-liku jalanan ibu kota. Akhirnya aku pun tiba di kediaman keluarga Puspito. Rumah mewah di kawasan elite Pondok Indah, Jakarta Selatan untuk kaum borjuis. Crazy rich. Tajir melintir. Kaya raya. Sugih luwih.

''Ting ... Tong!!!''

Aku memencet bel rumah yang terletak di luar pintu gerbang. Beberapa menit terlewati, tapi belum ada tanda-tanda reaksi dari penghuni rumah ini.

''Ting ... Tong!!!''

Aku memencet bel lagi. Dan tak lama kemudian, aku melihat seorang wanita setengah baya lari tergopoh-gopoh menghampiri aku yang berdiri sabar menanti. Semakin dekat aku semakin mengenali perempuan berambut keriting itu. Tak salah, dia adalah Bibi May, salah satu Asisten Rumah Tangga di rumah gedongan ini.

 Tak salah, dia adalah Bibi May, salah satu Asisten Rumah Tangga di rumah gedongan ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

''Wah, ada Mas Harsan ...'' ujar Bibi May ceria menyambut kehadiranku sembari membukakan pintu gerbangnya.

''Hehehe ... iya, Bi ...'' sahutku.

''Ada keperluan apa Mas Harsan datang kemari jam segini?'' tanya Bibi May berlanjut.

''Saya mau bertemu dengan Pyo, Bi ... hehehe ...'' jawabku.

''Lho ... emang Mas Harsan tidak tahu?'' timpal Bibi May dengan mimik keheranan.

''Tidak tahu soal apa, Bi?'' Aku mengernyit.

''Den Pyo dan keluarganya sudah pindah ke luar negeri ...'' terang Bibi May lugas.

''Hah ... kok mendadak dipercepat, Bi ... bukankah mereka baru mau berangkat minggu depan?'' tadahku penuh nada keterkejutan.

''Ya ... semalam Den Pyo merengek minta segera pergi ke luar negeri, sehingga Tuan dan Nyonya terpaksa membawanya berangkat sejak tadi pagi.''

Tubuhku jadi lemas seketika mendengar penjelasan Bibi May. Jiwaku seolah terlolosi dari ragaku. Bumi seakan bergoyang-goyang seperti lagi dangdutan. Langit berputar-putar seperti naik kemudi putar. Dan angin seolah berhenti berhembus. Diam. Tanpa secuil suara pun yang terdengar. Senyap. Seperti dalam ketulian.

Aku tidak menyangka, kalau Pyo akan semarah dan sebenci itu kepadaku. Ia pergi tanpa pamit. Ia berlalu meninggalkan sayatan sembilu di batinku. Nyeri. Pilu. Salahku seakan tak termaafkan. Hingga Pyo tega melakukan ini semua. Masihkah aku punya waktu untuk mengejarnya. Masihkah ada harapan untuk menjelaskan. Masihkah ada kesempatan untuk meluruskan kesalahpahaman? Ah ... Pyo, kamu jahat! Kamu pergi tanpa mempedulikan perasaanku.

 Pyo, kamu jahat! Kamu pergi tanpa mempedulikan perasaanku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

''Mas Harsan ... kamu tidak apa-apa?'' kata Bibi May menyadarkan aku dari lamunan.

''Ya, Bi ... saya baik-baik saja ...'' sahutku pelan.

''Kamu mau masuk ke rumah, Mas?''

''Eh tidak usah, Bi ... di sini saja. Oh ya, Bi ... kira-kira Bibi tau gak? Mereka pergi ke mana? Naik pesawat apa dan pukul berapa keberangkatan dari bandara?''

''Maaf, Mas Harsan ... Bibi kurang tahu.''

''Oh gitu ya, Bi ... aduh, kepada siapa saya bisa tahu informasi ... oh ya, di mana Pak Sukree sekarang, Bi?''

''Pak Sukree menghantar mereka ke bendara, Mas. Belum kembali.''

''Hadewh ...'' Aku menepok jidat, ''ya udah deh, Bi ... kalau gitu saya permisi dulu...'' lanjutku.

''Tunggu Mas!'' pekik Bibi May menahan langkahku.

''Ada apa, Bi?'' tanyaku.

''Ada titipan dari Den Pyo buat Mas Harsan!'' ungkap Bibi May.

''Titipan apa, Bi?'' Jidatku mengkerut.

''Tunggu sebentar, Bibi ambilkan dulu di kamar Bibi!'' Bibi May membalikan tubuhnya dan segera berlari ke dalam rumah. Cukup lama. Mungkin 3-5 menitan. Kemudian ia tergopoh-gopoh mendekati aku kembali dengan membawa sebuah kotak kecil yang terbungkus rapi.

''Ini Mas, titipan dari Den Pyo!'' ujar Bibi May seraya meletakan bingkisan itu ke telapak tanganku.

''Terima kasih, Bi ...'' balasku sembari memperhatikan kotak kecil ini dengan seksama.

Sebuah kotak terbungkus kertas bergambar kucing jantan berwarna abu-abu. Matanya kuning. Ekornya panjang. Mirip Pusspyo. Mungkinkah Pyo tahu aku menyukai kucing ini?

Aku memasukan bingkisan ini ke kantong tas ranselku. Aku pamit pada Bibi May, lalu pergi meninggalkan rumah mewah tersebut. Aku berjalan terseok seperti barang rongsok yang bobrok. Tanpa arah dan tujuan. Menjerit dalam kebisuan. Merana di tengah lalu lalang keramaian jalanan kota Jakarta. Sedih. Menangis tanpa air mata. Aku sadar aku akan kehilangan Pyo untuk selama-lamanya. Bukan mati, tapi untuk jangka waktu yang tidak pasti.

Berpisah, bukanlah akhir sebuah kisah
Terberai, bukan karna kuingin mengakhiri
Mungkin, kisah kita hanya butuh jeda
Bukan berakhir karna kita minta

Kucing Jantan Abu-abuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang