Beberapa hari ini, aku mengambil cuti dari pekerjaanku. Aku melakukan hal ini, karena aku ingin fokus menemani Pyo. Lagipula aku tidak berani meninggalkan dia sendirian. Bukannya aku tak tega, tapi menurutku itu sangat berisiko. Bila meninggalkan rumah yang di dalamnya terdapat orang asing. Aku memang belum sepenuhnya percaya dengan Pyo, lantaran aku belum tahu siapa dia yang sebenarnya. Apakah dia orang yang baik atau tidak. Ini masih rancu dan abu-abu. Belum jelas. Masih kelewat bias. Jadi, aku masih merasa was-was dan perlu waspada ekstra. Ini Jakarta, Man! Banyak manusia kardus yang menebar modus untuk mendapatkan fulus.
Namun sejauh ia tinggal bersamaku. Selama itu aku tidak pernah melihat gelagatnya yang mencurigakan. Ia masih bersikap manis. Memiliki tata krama yang baik. Dan perilaku yang sopan dan santun. Bahkan saat-saat bersama pemuda tampan ini, aku justru mengukir kisah-kisah yang sangat menarik dan cukup berkesan.
Seperti pada sore itu ...
Diam-diam ia membuatkan aku secangkir mocca coffee kesukaanku. Pyo meletakan minuman hangat sejuta umat itu di atas meja. Meja kecil yang ada di serambi rumah. Terbuat dari anyaman bambu. Sederhana tapi unik. Aku membelinya di toko on line yang khusus menjual barang-barang bekas. Untuk melengkapi furnitur ini, aku cuma memasangnya dengan dua buah kursi plastik. Dan kini, aku bersama Pyo duduk di kursi tersebut.
''Terima kasih, Pyo!'' ujarku sembari meraih cangkir berisi kopi buatan Pyo. Pemuda ini tersenyum simpul. Memasang mata teduh. Mengisyaratkan kesenangan yang utuh.
Perlahan aku menyeruput kopi ini, dan mencecap rasa pahit yang bercampur dengan gurihnya cream mocca. Pyo meringis sambil mengacungkan jempolnya seolah berkata, ''apakah kopi buatanku itu enak?''
''Iya, enak!'' jawabku dengan menganggukan kepala serta memberikan acungan jempol.
Brondong tampan ini tersenyum lagi. Lalu matanya menyorot ke sebuah buku yang sedang kubaca. Sebuah novel karya Bang Andrei Aksana yang berjudul : Lelaki Terindah. Dengan seksama, mata kuning Pyo memperhatikan cover buku novel ini yang bergambar seorang laki-laki yang sedang bertelanjang dada memamerkan tubuh atletisnya.
''Kenapa, Pyo? Kamu mau baca novel ini juga?'' Aku menyodorkan buku ini ke hadapan Pyo. Pemuda tampan ini pun antusias meraih buku tersebut.
Pyo menepuk pahaku, kemudian ia mendekatkan buku itu di dadanya seakan ia ingin berujar, ''aku suka buku ini. Ijinkan aku membacanya!''
Prasangka ini dipertegas dengan sorotan mata Pyo yang berbinar-binar. Tapi, mungkinkah dia akan suka membaca isi dari novel itu? Mengingat novel ini bergenre cinta LGBT. Apa dia bisa memahami kisah cinta sejenis yang terkandung dalam novel terbitan gramedia tersebut.
''Kamu yakin ingin membaca buku itu, Pyo?'' Aku mengkerutkan kening.
Pyo tersenyum saja.
''Tidak, sebaiknya kamu jangan baca novel ini!'' Aku merebut novel itu dari tangan Pyo. Tampaklah wajah kecewa dan cemberut Pyo yang ia perlihatkan kepadaku.
''Sepertinya kau sangat ingin membacanya, Pyo ...''
Lelaki muda ini tertunduk. Sedih. Kecewa. Marah, tapi dikit.
''Baiklah ... ini kuserahkan untukmu!'' Aku menyodorkan kembali buku ini ke hadapan dia.
Pyo langsung sumringah. Dia segera mengambil buku itu, lalu dengan gesit ia mengecup pipi kiriku. Brondong tampan ini mengacungkan ibu jarinya, sebelum ia berjingkat masuk ke rumah untuk membaca novel itu.
__Ah, Pyo ... kenapa sih, kamu demen banget bikin aku baper! Kecupan lembutmu di pipiku benar-benar seperti virus yang perlahan menggerogoti ketahanan rasa ketidaknormalanku.
__Kamu harus bertanggung jawab dengan semua itu!
DU LIEST GERADE
Kucing Jantan Abu-abu
KurzgeschichtenUntuk 13++ Kucing Jantan Abu-abu itu bernama Pusspyo yang kutemukan tergeletak di jalanan. Suatu hari, Pusspyo pergi menghilang entah ke mana? Saat aku mencarinya, aku berjumpa dengan seorang pria muda yang memiliki sikap dan ciri-ciri persis sepert...