(16D) DAY DREAM

5K 757 77
                                    

****

"Sang rembulan mampu menggantikan kedudukan sang matahari namun di dalam hati ini peranmu tak akan pernah tergantikan." - unknown.

***

Ternyata seharian bersama dengan Dicky di rumah bukan ide yang buruk. Maksudku, bukannya aku menikmati 'kebersamaan' kami di rumah. Toh, laki-laki itu tidak turun dari kamarnya sama sekali. Kami juga tidak terlibat dalam percakapan sama sekali sampai malam datang. Papa dan mama mertuaku juga sudah kembali. Aku merasa lega sepenuhnya karena tidak lagi 'berdua' – maksudku bertiga dengan anakku – di rumah.

Mama mertuaku memesan pizza serta nasi gurih kesukaan papa mertuaku di jalan sudirman tetapi entah mengapa aku tidak bernapsu makan sama sekali. Setiap kali aku mencoba makan, setiap kali itu pula aku memuntahkannya.

"Sayang, kamu kok mual? Ngga biasanya loh. Mau ke dokter?" tanya mama mertuaku menghampiriku di westafel. Aku menggeleng sebagai jawaban. Tidak sengaja aku menoleh ke belakang dan menemukan Dicky disana – di meja makan- sedang menatapku juga. Oh My God. Aku langsung kembali ke kamar Nadia karena takut. Entahlah. Perasaan macam apa sebenarnya ini? Seperti ketakutan jika Dicky akan memarahiku yang asyik mual sedari tadi atau tatapan kesalnya? Enthlah. Aku mencoba membuang perasaan anehku dengan membaca novel.

Pintu kamarku terbuka. Aku membalikkan badanku menghadap Nadia tetapi bukan Nadia yang kudapati melainkan Dicky. Aku langsung memalingkan wajahku dan mulai memikirkan seribu cara untuk melarikan diri.

"Ini bisa meredakan mualmu." Dicky berhasil menghentikan langkahku untuk turun dari ranjang dengan segelas jahe hangat dalam gengamannya yang terulur padaku. Aku tahu bahwa Dicky menginginkanku untuk mengambil minuman itu dari tangannya tetapi entah mengapa aku tetap saja merasa takut. Aku bahkan tidak berani menatap matanya. Huh. Apakah ini terjadi setelah aku tahu dia menyelamatkan hidup kami? Oh Tuhan. Kepalaku menjadi berat. Aku memutuskan mengabaikan minuman itu. Aku tidak akan pernah tergoda dengan segelas jahe hangat. Sudah cukup rasa sakit yang dia tolerkan padaku selama ini.

"Hanna, minum!" suara Dicky terdengar menuntut. Dia mengejarku dan menutup aksesku ke kamar mandi seperti biasa.

"Ngga mau." balasku dingin, masih tidak berani menatap langsung wajahnya. Samar-samar kudengar tarikan napasnya yang kini semakin mendekat padaku. Dia menarik daguku dengan lembut, tidak seperti selama ini yang dia lakukan padaku. Tidak. Aku menutup kedua mataku, benar-benar tidak mau melihat wajahnya tetapi aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak membuka kedua mataku setelah tiga menit berlalu.

"Hanna, aku hanya mau kamu minum. Hanya itu." Dicky berbicara dengan begitu lembut dengan kedua mata yang langsung menghadapku. Sontak kedua mataku langsung berkaca-kaca, seperti ingin menangis. Demi apapun, kenapa kedua mata itu membuatku seperti lupa akan keberadaanku? Seperti aku ingin bersandar pada pemilik mata itu dan meresap habis mata nan teduh itu hanya untukku? Gila. Aku benar-benar sudah kacau.

"Kenapa?" tanyaku mencoba menahan nada suaraku agar tidak terdengar gemetar.

"Kenapa kamu membawakannya untukku? Kamu ngga pernah seperti itu dulu." Aku mengulangi pertanyaanku dengan setegas mungkin yang kubisa. Dicky meletakkan gelas itu di meja belajar Nadia yang berada tepat di belakangnya kemudian meraih tanganku. Dengan kecepatan seribu, aku menepis tangannya.

"Aku mau kamu tahu kalau kondisiku yang sedang hamil ini tidak butuh belas kasihanmu. Aku bisa mengurus diriku dan bayiku sendiri. Ini bukan anakmu. Jadi tolong, kumohon kamu...." Perkataanku tertelan akan ciumannya. Pupil mataku membesar. Aku terkejut setengah mati akan ciuman mendadak ini. Kucoba mendorong Dicky tetapi tidak bisa. Dicky malah memperdalam ciuman kami saat aku membuka bibirku, untuk berteriak.

KALEIDOSCOPICTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon