(9) DAME

9.4K 705 98
                                    

****

“Kau pergi bukan karena kau ingin yang terbaik untukku tapi karena aku mungkin bukanlah yang terbaik bagimu.” - unknown

***
    
Ruangan ini masih begitu rapi. Setiap benda milik Tika seolah tidak tersentuh sama sekali padahal debu tidak melekat sama sekali. Tak sadar Tika menyunggingkan seulas senyum tipis. Dilangkahkan kakinya berbaring di atas kasur sambil menatap ke penjuru ruangan kamarnya yang luas. Ralat, kamar mereka, dirinya dan suaminya.
    
Dinginnya AC yang menyala membuat Tika tak sadar memeluk tubuhnya sendiri. Ia membasahi bibirnya saat menatap bingkai foto Tito yang terpasang di dinding. Wajah itu terlihat begitu tampan. Campuran darah german membuat laki-laki yang dicintainya itu semakin sempurna. Tak sadar Tika bangkit dari pembaringannya dan mengelus permukaan foto Tito.
    
Senyum ini begitu lebar … dan ya efeknya masih sama dan akan selalu sama sampai detik ini. Jantungnya berdebar dengan kencang. Rasa hangat pun menyelimuti dada. Oh Tuhan. Sudah berapa lama sih dirinya tidak bertemu dengan sang suami hingga rasanya begitu menyesakkan?
    
Dirinya meridukan sang suami. Sangat teramat merindukannya.
    
Pintu kamar terbuka dengan cukup keras. Sosok laki-laki yang dirindukannya memasuki kamar. Aroma khasnya langsung membuat Tika berbalik badan, menatapnya dengan sorot bahagia, namun kebahagiaan itu sirna begitu saja saat melihat Tito sedang memeluk seorang wanita berpakaian seksi bahkan kini keduanya saling berciuman di hadapan Tika.
     
Jantung Tika teremas dengan kuat. Ia mengerjapkan kedua matanya saat kedua pasang mata itu menatapnya. Dan kini bahkan sorot cinta itu sudah menghilang berganti dengan kedinginan yang terasa menikamnya. Laki-laki itu menyunggingkan seulas senyum sinis sambil mengangkat sebelah alisnya.
    
“Kamu sudah balik?” tanya Tito berbasa-basi
    
Tika berusaha menahan dadanya yang berkecambuk. Ia mencoba terlihat kuat walau nyatanya ia ingin mencakar wajah wanita itu, menamparnya, mengusirnya dari rumah mereka. Tika berdeham pelan sambil memaksakan seulas senyum hangat.
    
“Tentu saja. Memangnya kamu kira berapa lama aku bisa berjauh-jauhan denganmu? Aku merindukanmu,To.” Jawab Tika tulus walau rasa sakit itu turut mengiringi. Ia melangkah mendekat kemudian mengulurkan tangan, hendak memeluk Tito namun dengan cekatan Tito memundurkan tubuhnya sambil menatap Tika dengan sorot tidak suka.
    
Tak sadar Tika menyunggingkan seulas senyum getir. Ia mencoba menahan tangis saat bibirnya mulai bergemetar. Dengan cekatan dibasahi bibirnya itu sambil mengangkat dagu tinggi-tinggi. Tidak, tolong, tolong Tik, jangan nangis, jangan menangis dihadapannya.
    
“Kamu tidak mau memelukku setelah setengah tahun mungkin kita berpisah?” tanya Tika
    
“Kamu membuatku jijik.” Tukas Tito kesal sementara itu wanita berpakaian seksi itu tersenyum mengejek bahkan kini wanita itu semakin menempelkan tubuhnya di dada bidang Tito sambil mengedip menggoda pada Tito.
    
“Keluar kamu. Ini bukan lagi kamarmu sejak dia menjadi istriku.” Sambung Tito menekankan setiap katanya.
    
Kedua mata Tika terbuka lebar. Ia mengerjap tidak percaya. Tak sadar raut wajah tenang yang berusaha ia tampilkan itu menampakkan raut wajah terluka saat kedua matanya menemukan cincin yang berbeda di jari manis Tito. Jelas saja, cincin itu bukan cincin pernikahan mereka. Cincin itu … adalah cincin pernikahan Tito dengan Tiya, istri muda Tito.
    
“Kamu ….?”
    
Tika bahkan tidak lagi mampu berkata saat mendengar tawa mengejek Tito. Tunggu … Tiko tertawa mengejek padanya? Sejak kapan? Mengapa … mengapa laki-laki itu mampu melakukan hal ini pada Tika? Bukankah dulu laki-laki ini selalu menyatakan cinta padanya, selalu menciumnya, selalu memperlakukannya dengan istimewa? Mengapa kini semuanya menjadi … berbeda?
     
“Bunda belum beritahu ya? Kami sudah menikah dan sekarang Tiya sedang hamil. Karena itu sebaiknya kamu keluar sekarang karena Tiya butuh istirahat.” Jelas Tito tanpa perasaan
    
“Sayang, aku boleh ganti bed covernya ya,yang?” tanya Tiya manja. Ia menatap Tika dengan tajam kemudian mengelus dada bidang Tito sambil melanjutkan,“Lagipula istri tuamu itu sudah kembali bukan,yang. Jadi, semua barang-barangnya sudah bisa dipidahkan bukan.”
    
Tika berharap dalam hati jika suaminya melarang atau bahkan memarahi istri mudanya. Bagaimanapun kamar ini adalah kamar yang di desain Tito sendiri untuknya. Bahkan semua barang-barangnya dari pakaian hingga peralatan make-up adalah pemberian Tito. Laki-laki itu pasti tidak akan mampu mengusir Tika dari kamarnya sendiri. Ya pasti. Namun semuanya runtuh begitu saja saat didengarkan suara itu berkata tanpa sedikit pun keraguan.
    
Sure. Aku akan panggil mbok Atih pindahkan ya,sayang.”
    
Ketika itu Tika meneteskan air matanya, namun secepat kilat ia menyekanya dengan kasar. Sekujur tubuhnya terasa bergemetar. Rasanya ia akan roboh saat ini namun beruntung akal sehatnya masih bekerja dengan baik. Ia pun menahan napasnya sambil membalas tatapan dingin Tito dengan datar.
     
Tuhan, tatapan itu masih begitu mendebarkan, namun mengapa rasa sakit turut mengiringinya? Mengapa kini bahkan Tika terasa tidak lagi mampu untuk menatap suaminya? Ia merasa begitu sakit di sekujur tubuhnya. Ia merasa … dikhianati. Tapi benarkah dirinya dikhianati sementara dirinya saja tidak mampu memberikan keturunan bagi laki-laki itu?
     
Sejak kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya, Tika divonis tidak mampu mengandung lagi. Rahimnya telah diangkat akibat kecelakaan itu. Kecelakaan itu pula membuat Tika frustasi. Ia hampir bunuh diri. Ia merasa tidak lagi berguna menjadi wanita namun kala itu Tito datang dengan beribu janji.
     
Janji tinggal janji. Benar saja. Mana ada laki-laki yang mau hidup dengan wanita sepertinya. Bahkan seorang Tito yang begitu mencintainya saja mampu berpaling. Janji yang Tito ucapkan dulu, meminta Tika agar menyembuhkan diri baik batin dan fisiknya, yaitu kakinya yang hampir lumpuh kemarin, dan berkata semua akan baik-baik saja, bahwa dirinya akan selalu mencintai Tika, akan selalu mendukung tika hanya .... tipuan belaka.
     
Laki-laki itu tidak lagi mencintainya. Semua perkataannya hanya angin lalu. Semua janjinya hanya diucapkan tanpa suatu tekat.
    
“Tidak perlu.” Ucap Tika dengan suara bergetar.
    
“Kamar ini bukan milikmu lagi,Tika. Kamu harus bisa menerima kenyataan dan keadaan yang ada. Kamarmu sekarang berada di lantai terakhir dan barang-barang ini semua otomatis akan dipindahkan ke kamarmu juga. Tiya tidak mungkin menggunakannya apalagi aku.” Balas Tito dingin
    
Tika menarik napas kuat, mencoba menghalau rasa sakit yang ada. Kuat,tik, kuat. Kamu pasti bisa. Bibir Tika terbuka, hendak membalas, namun kembali tertahankan akan kata Tito yang terasa menumbuk ulu hatinya.
    
“Lagi pula kamu sudah harus bersyukur karena aku masih sedikit berbaik hati membiarkanmu tetap tinggal.” Ucap Tito sambil menatap Tika dengan sorot tidak suka sementara itu kedua mata Tika berkaca-kaca.

KALEIDOSCOPICTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang