(6B) PLETHORA

7.9K 755 40
                                    

Note : kebanyakan narasi dan pendek. Semoga tidak membosankan :)

***

Joanna bergegas memasukkan beberapa koper ke dalam dua taksi yang Ia pesan. Kedua matanya melirik keberadaan ayah yang sedang menatapnya dengan dingin. Ia menunduk, menggelengkan kepala kemudian meminta kedua adiknya untuk segera masuk ke dalam taksi. Beruntung kedua adiknya tidak bertanya terlalu banyak kemana mereka akan pergi.

Joanna menghembuskan nafas pelan sembari menutup pintu mobil taksi bagi adiknya. Ia langsung berjalan mendekati ayahnya.

"Yah, semua barang barang sudah dimasukkan. Kita harus pergi sekarang yah." Tukas Joanna hati hati

Ayah memalingkan wajahnya. Ia masih marah dan binggung. Ia baru saja bangun tidur karena ingin pergi ke toilet namun yang Ia temukan tadi membuatnya bertanya tanya. Sudut hatinya merasa sedih namun batinnya memberontak. Ia tahu sesuatu tidak beres telah terjadi.

Ketika Ia menghampiri putrinya, Joanna malah meminta dirinya untuk bersiap siap ke bandara tanpa menjelaskan alasannya. Ia ingin menolak namun air mata putrinya membuatnya tidak sanggup menolak.

Ibu menyentuh lengan Ayah. Kedua mata nan teduh Ibu seolah membius dan menenangkan hati Ayah. Ayah menghembuskan nafas kuat lalu berjalan melalui Joanna dan memasuki taksi tanpa bertanya lebih lanjut.

Joanna mengerjap. Dadanya terasa sesak seketika mendapat perlakuan sedingin ini dari ayahnya. Joanna menghembuskan nafas pelan, mencoba menerimanya. Sudut hatinya memang terluka namun tak banyak yang dapat Ia lakukan. Bagaimanapun prioritasnya saat ini adalah meninggalkan negara ini secepat mungkin. Dalam hati Ia berjanji akan menjelaskan segalanya kepada Ayah dan Ibu mengenai masalah rumah tangganya.

"Kak!" panggil Chris, adik laki laki Joanna, menghentakkan dirinya.

Joanna menarik nafas pelan. Ia berbalik, mengangguk dan segera naik ke taksi yang sama dengan adik adiknya. Sesampainya Joanna memasang seat belt kemudian menyandarkan tubuhnya dengan pelan.

Taksi mulai berjalan meninggalkan rumah. Tak sadar kepala Joanna bergerak memandang rumah sederhana milik keluarganya. Ada rasa ketidakrelaan namun tenggelam dengan rasa takutnya akan Darren. Beruntung Jenny, pembantu rumah tangga yang sudah lama bekerja dengan mereka, bersedia membersihkan rumah mereka sampai jangka waktu yang bahkan tidak berani Joanna bayangkan.

Joanna mengerjap ketika merasa kedua matanya perih. Ia mengengam tangan kedua adiknya. Sontak hal tersebut membuat adiknya binggung. Kedua adiknya saling memandang. Bibir keduanya terbuka, hendak bertanya, namun akhirnya keduanya saling mengangguk seolah mengerti.
Chris dan Selena ikut menyadarkan tubuhnya sembari membalas gengaman kakak mereka, seolah mencoba memberi kekuatan bagi kakak mereka.

Joanna tersenyum tipis, merasa begitu bersyukur memiliki adik adiknya. Permandangan kegiatan jalanan yang tidak pernah berhenti bahkan saat hari masih belum subuh membuat Joanna menarik nafas pelan. Sebentar lagi ... sebentar lagi dan Ia akan meninggalkan negera ini ... meninggalkan semua kenangan dan Darren.

Ada rasa sakit menikam jantungnya namun berusaha tuk Joanna tahan. Akhirnya Joanna memilih menutup kedua matanya dan tidur mengistirahatkan otaknya, membiarkan mobil taksi membawa mereka ke bandara dengan selamat.

*

Darren mencari ... Ia mencari ke seluruh tempat yang dapat Ia kunjungi. Di mulai dari restoran, mall, kedai dan tempat tempat lainnya. Darren menggeram. Ia mengacak rambutnya dengan kesal.

Sudah dua jam Ia berkeliling kota mencari Joanna. Langit bahkan sudah terang tapi hingga saat ini Ia bahkan tidak menemukan batang hidung istrinya. Sialan. Kemana Joanna sekarang?!

Rumah orang tua Joanna.

Darren tertegun. Dada berdebar kencang. Sialan. Mengapa Ia melupakan tempat itu? Bagaimanapun Joanna pasti berada di rumah orang tuanya sendiri. Ya. Oh Tuhan. Darren menginjak pedal gas mobil dan segera melajukan mobilnya menuju tempat tinggal orang tua Joanna.

Lampu merah membuat Darren menggeram. Ia mengetuk stir mobil, mencoba menahan rasa amarahnya. Rasanya Ia bahkan sudah tidak sabar menemui Joanna. Ia ingin memarahi Joanna habis habisan. Setelah berdansa dengan pria lain, Joanna malah meninggalkan rumah membuatnya khawatir setengah mati. Seharusnya mereka sedang berada di rumah, berdebat hingga Joanna menangis. Seharusnya ...

Khawatir?

Oh. Darren menggeram. Ia menggeleng. Tidak tidak. Tak sadar Darren menutup kedua matanya dengan erat, mencoba memusnahkan pemikiran gila itu. Bagaimana mungkin Ia khawatir? Demi Tuhan, Ia hanya marah! Ia marah melihat Joanna berdansa dengan pria lain sementara dia ada di sana! Dan demi apapun, di sana ada begitu banyak kerabat Darren, teman dan rekan bisnisnya. Bagaimana Joanna bisa segila itu dengan berdansa dengan pria lain? Mau di taruh dimana reputasi Darren?

Darren disadarkan dengan bunyi ponselnya. Ia melirik lampu lalu lintas sesaat sembari menggerutu dalam hati sebelum akhirnya menjawab panggilan di ponsel.

"Ya?"

"Aku sudah mengetahui keberadaan istrimu."

"Dia ada di rumah orang tuanya bukan?"

"Tidak."

"Tidak?"

Kening Darren menyergit. Tak sadar dadanya berdebar lebih kencang saat ini. Lampu hijau telah menyala membuat Darren mati matian membagi fokusnya untuk jalanan dan telepon. Ia membasahi bibirnya, menunggu perkataan selanjutnya dari temannya.

"Istrimu,Joanna, akan berangkat ke Indonesia, meninggalkan negara ini bersama keluarganya."

"A ...pa??"

Darren menginjak pedal rem tanpa sadar. Darah terasa berhenti mengalir. Wajahnya menjadi pucat seketika. Sesaat ... selama sesaat Ia bagai kehilangan fokus sampai suara dehaman Omar, temannya, menyadarkan dirinya.

"Aku baru saja mendapatkan informasi tersebut dari pihak penerbangan. Menurut data, dua puluh menit lagi mereka akan berangkat. Kau mungkin bisa mengejar mereka jika kau mengebut."
Sialan.

KALEIDOSCOPICTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang