(6D) PLETHORA

9.2K 720 40
                                    


****

"Bibirku menahan pekikan, hatiku yang remuk, dikala tetes hujan menangis bersamaku karena engkau sedang berada dipelukannya." - Unknown

***

Joanna merintih sakit. Tubuhnya meringkuk, mencoba memeluk dirinya sendiri. Tak sadar air matanya kembali mengalir, perpaduan akan rasa sakit hati dan fisik. Ia mengigit bibirnya, menghiraukan rasa sakit dibibirnya yang berdarah.

Joanna mengangkat kepalanya, kembali merintih sakit sementara kedua matanya kembali terpejam mendengar ketukan di balik pintu yang kembali terdengar. Lima belas menit telah berlalu namun Darren masih senantiasa berdiri disana, mengetuk pintu kamar yang ditempati Joanna berkali kali, memanggil namanya dan meminta Joanna membukakan pintu.

Joanna mendengus. Untuk apa? Untuk menertawakan dirinya karena berhasil merampas kesucian Joanna atau untuk memarahinya lagi kah? Apakah Darren tidak merasa puas setelah semua ini?

"Joanna?? Buka pintunya,tolong. Kita perlu bicara." Ucap Darren

Joanna menggeleng. Sebelah tangannya menyentuh jantungnya berada dan kembali meringis. Kesakitan ini ... kesesakkan ini ... tidak terbayarkah akan masa lalunya? Mengapa Darren bisa sekejam ini? Mengapa setelah merampas kesuciannya, Darren malah ingin menemuinya saat ini? Sebenarnya apa yang diinginkan pria itu? Memukulinya kah? Mencekiknya kah?

"Joanna!! Kalau kau tidak membukanya maka jangan salahkan aku jika aku mendobraknya."

Joanna bergedik ngeri. Tak sadar Ia semakin mengeratkan pelukan pada dirinya. Kedua matanya bergerak, mencoba mencari jalan lain, namun nihil. Ia bahkan tidak mampu berjalan saat ini. Seketika dada Joanna berdebar kencang saat tidak lagi mendengar ketukan di balik pintu.

Jangan jangan ... tidak tidak.

Joanna menahan napasnya selama sesaat. Darren tidak mungkin melakukannya. Darren tidak mungkin melakukannya. Berkali kali Joanna mengucapkan kata itu dalam hati bagai mantra untuk mengurangi ketakutan dalam hatinya.

"Joanna ... aku tidak main main!" tukas Darren melangkah mundur, hendak mendobrak pintu kamar dihadapannya sebelum akhirnya Ia mendengar suara itu, suara terlembut yang pernah Ia dengar, suara yang selalu mampu menggetarkan hatinya bahkan setelah bertahun tahun berlalu.

"Siapa kau ...?"

Tubuh Darren menegang. Wajahnya langsung mengeras. Ia mengedip. Suara ini ... suara ini ...

"Hei! Berbalik badanlah atau aku akan melemparkan pot bunga ini tepat dikepalamu. Dasar pencuri. Hei!"

Enggan rasanya untuk membalikkan badannya namun akal sehat dan hatinya saling berlawanan. Dengan kedua mata terbuka lebar, Darren berbalik, berharap pendengarannya salah menangkap suara itu namun Ia salah. Ia salah besar.

 Ia salah besar

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Wanita itu ... masih dengan tatapan yang sama, dengan rona merah yang selalu muncul di pipi, memandangnya dengan binggung dan ketika kedua mata itu menemukan dirinya, bibirnya menjadi terbuka lebar, terkejut.

"Da ... Darren ...?"

Oh Tuhan. Darren bahkan hampir jatuh karena terlalu terkejut. Wanita ini ... wanita ini ... Oh Tuhan. Inilah yang paling Ia takutkan, bertemu kembali dengan wanita ini. Alam bawah sadarnya mengingatkan dirinya agar segera menjauh namun kembali sudut hatinya mengambil alih segalanya. Ia kembali mengerjap, merenggangkan tangan tangannya yang saling mengepal tadi. Lama ... cukup lama keduanya bertatapan sampai akhirnya seulas senyum tipis terukir di sudut bibir Darren.

KALEIDOSCOPICWhere stories live. Discover now