(4) OBLIVIOUS

13.4K 803 53
                                    

****

Dalam samudera yang luas ini, tentu saja kau tak akan mampu memandang padaku saja.

Dalam sosialisasimu yang begitu luas, tentu saja kau tak mampu menemukanku didalam sana.

Dalam hidupmu yang selalu disibukkan dengan banyak hal, tentu saja kau tak akan pernah tahu aku disini selalu untukmu.

Ketika kau sedang memandang ke langit, aku memandangmu di bawah rimbun pohon.

Ketika kau sedang tertawa bersama temanmu, aku mengintipmu di balik buku tebal yang sengaja ku bawa.

Ketika kau sedang berfoto akan kelulusanmu, aku berada di jauh belakangmu, memandang punggung indahmu dengan senyum bahagia.

Ketika kau di bandara, hendak pergi ke benua lain demi menuntun ilmu, aku berada di barisan terakhir yang memandangmu dengan air mata.

Ketika kau kembali dengan bangganya, aku memandangmu rindu dari kaca jendela.

Ketika kau mulai bekerja memimpin perusahaan, aku berada jauh dibawahmu, mendorong perusahaanmu agar sukses dari pekerjaanku dan terakhir ketika kau sedang berada di altar, mengucapkan sumpah akan janji pernikahanmu dengan wanita lain, aku masih berada disana, di tempat duduk paling belakang, memandangmu dengan tatapan kosong dan berkata semuanya telah berakhir.

Begitu tragisnya hidup ini. Kau senantiasa menjadi sumber bahagiaku sedangkan aku sama sekali tidak terlihat bagimu. Karena memang beginilah adanya, akulah pengaggum rahasiamu yang memandangmu dari jauh namun tidak mampu menyapamu.

Akulah si bintang dalam langit malam yang tak mampu kau temukan. Kita terlalu jauh amat berbeda. Kau bahkan tidak mengenalku lebih dari sekedar teman seangkatan yang bahkan tak pernah kau sapa.

"Menyesal pun tidak ada artinya lagi. Lo tolol,Gis. Saat lo punya kesempatan dekatin Rizky, lo cuman ngintipin dia di balik bulu mata lo. Pengecut. Bahkan lo masih berani nangis? Bangun,Gis. Hidup lo masih panjang." Tukas Yunni, sahabat karibku saat itu.

Aku berusaha tersenyum sebagai balasan walau nyatanya setiap malam air mata ini masih membasahi pelupuk mataku. Berusaha kutegarkan hati yang rapuh karena ku tahu mereka semua tidak mengerti sakitnya menjadi aku namun lamban laun baru ku sadari begitu tololnya diriku mengaggumi dirinya yang tak dapat kugenggam.

Seolah mengejar bayangan, dia sama sekali tidak dapat ku rasakan. Mungkin inilah hidup, selalu membawa kita ke dalam suatu penderitaan yang berbuah kebijakan.

Kini akupun mulai mengerti satu hal dalam hidup, cintai sesuatu yang berhak untuk kau cintai dan ubahlah arah jalanmu jika dia bukanlah yang terbaik dalam hidupmu.

*

Goncangan Tiya pada bahu, membuat Gista terperajat kaget. Pena dalam gengaman tangannya jatuh seketika membuat Tiya menggelengkan kepala. Ia menyerahkan map merah pada Gista.

"Nah ini kasih ke pak bos ya,Gis." Ucap Tiya

"Eh bukannya Riz.. maksudku Pak bos masih belum balik ya?" Tanya Gista kaget.

"Makanya tuh kamu jangan melamun aja. Pak bos udah balik belasan menit yang lalu." Tukas Tiya memandang sekelilingnya sesaat lalu menunduk ke arah Gista, tubuhnya sedikit maju ke depan dan berbisik, " Memang ya sekali bos tetap bos. Jiwa pemimpinnya kental banget. Baru pulang honeymoon yang entah ke berapa kalinya masih aja balik buat meeting nanti."

Gista tersenyum tipis. Ia menerima map merah tersebut lalu segera bangkit dari duduknya. Sesekali Ia merapikan rok yang sedang Ia kenakan. Rasanya telinganya malas mendengar gosip yang pasti akan terasa membosankan baginya.

"Ya Tiya. Nanti kalau kamu punya usaha sendiri, kamu juga bakalan gitu." Tukas Gista

"Iya ya kalau bisa. Entah kapan baru aku punya usaha sendiri." Gerutu Tiya lalu kembali ke meja.

Gista menghembuskan nafas pelan lalu berlalu ke lantai enam, ruang direktur. Setibanya Gista bersyukur karena Fena, sekertaris direktur, masih berada disana. Gista segera menitipkan map merah tersebut setelah berpesan agar ditandatangani direktur dan akan mengambilnya kembali saat jam makan siang nanti.

"Tolong ya,Mbak Fen, please.."

"Ih kamu ini. Kenapa enggak mau masuk aja sih? Pak Rizky itu baik kok, enggak mengigit." Tukas Fena sedikit kesal.

"Yah mbak, aku lagi banyak kerjaan."

"Tiap hari alasannya banyak kerjaan aja. Pak Rizky selalu nanya kenapa bukan kamu atau teman kamu itu yang ngantar. Padahal ini kan kerjaan kalian berdua."

Gista menahan nafas, berusaha untuk bersabar karena memang kenyataan mbak Fena dihadapannya cukup cerewet walau begitu Ia masih cukup bermurah hati karena menerima map merah hasil pekerjaan Gista dan Tiya selama satu minggu setiap bulannya.

"Maaf deh mbak. Lain kali aku sampaiin sendiri kok." Tukas Gista tersenyum memperlihatkan deretan giginya.

Fena menggeleng pelan. Nada sambung telepon menyadarkan Fena dan Gista. Gista hanya dapat memasang wajah datar saat mendengar istri pak Rizky bersama anak mereka akan berkunjung saat jam makan siang nanti. Gista mengangguk sopan pada Fena lalu melangkah pergi secepat mungkin.

Setibanya di meja kerjanya, Gista langsung menyalakan komputernya dan berpura pura sibuk walau kenyataan Ia sedang mengirimkan email kepada Tiya, menanyakan menu makan siang mereka. Karena memang kenyataannya hanya dengan makanan dan sahabat membuat Gista mampu melupakan perih dalam hatinya. Namun walau begitu tubuhnya masih begini begini saja. Berat badannya tidak dapat bertambah sedikit pun. Aneh.

KALEIDOSCOPICTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang