(9D) DAME

7.9K 661 59
                                    

****

"Jangan memancingku untuk datang jika akhirnya kau paksaku pulang. Jangan biarkan rasa ini semakin dalam jika harapanku kau buat kelam." - unknown

***

Tika mengira ia sudah mati. Kegelapan benar-benar mengerogotinya sampai kedua matanya terbuka, ia malah menemukan sosok Tito di sana, menatapnya dengan tatapan kosong.

"Tika, kamu sudah sadar?!" tukas Tito berlari mendekati Tika. Ia pun menunduk, mencium kening Tika sambil menghela napas lega.

Tika menegang di tempat. Kepalanya masih terasa berdenyut apalagi keadaan tubuhnya sedang tidak fit, dan kehadiran Tito menambah sesak hatinya,meremas jantung. Tito memeluknya? Mencium keningnya? Meminta maaf? Apakah Ia salah?

"Aku janji... aku janji tidak akan meninggalkanmu lagi. Aku janji."

Bisikan lirih itu menghantam ulu hati Tika, membuat air mata Tika mengalir. Tak sadar ia menggelengkan kepala. Tidak. Tidak. Janji yang diucapkan Tito terakhir kali itu membuat Tika benar-benar tidak lagi dapat percaya pada laki-laki itu, apalagi setelah kejadian tadi dimana laki-laki itu memperkosanya, melakukan segala hal sesuai kehendaknya sendiri. Oh Tuhan. Tika menjerit dalam hati. Tak sadar tubuhnya merinding.

Tika mendorong tubuhnya mundur sambil memalingkan wajahnya dari Tito. Raut wajahnya mendingin walau air mata itu masih dapat terlihat dari sudut mata Tika.

"Keluar kamu." Tukas Tika dingin

Tito membulatkan matanya tidak percaya. Ia menggelengkan kepalanya, bersikeras agar tidak kemana-mana. Ia harus menjaga wanita ini. Entah sejak kapan. Entah bagaimana, Entah apapun itu yang merasuki dirinya... ia menjadi begitu takut. Demi Tuhan, Ia tidak pernah merasakan ketakutan seperti ini dan kejadian Tika pingsan tadi benar-benar membuatnya hampir mati.

Kamu masih mencintainya. Kamu masih cinta!

Kata itu bergolak dalam benak Tito. Enggan 'tuk ia akui namun tidak dapat ia pungkiri jika ia memang masih mencintai wanita ini. Ia masih begitu menginginkannya. Semua sikap kasarnya hanya merupakan benteng pertahanannya agar menghindari Tika, agar memberi batasan keras diantara mereka.

Tapi itu gagal. Gagal total.

"Maaf. Maaf,Tik. Aku..."

"Cukup!"

Teriak Tika. Kedua matanya berkaca-kaca akan panggilan itu. Tuhan. Kata itu, cara panggilan itu, kelembutan itu kembali terdengar dari suara Tito dan hal itu tidak bisa Tika biarkan begitu saja. Ia lebih baik memilih mati daripada harus menerima laki-laki yang sudah berlaku kasar padanya, yang sudah berkhianat darinya bahkan memiliki anak dari hasil pengkhianatan itu.. Jika pernah terjadi... maka tidak memungkinkan jika ada kedua kalinya dan Tika tidak mau. Ia tidak mau!

"Keluar. Saya bilang keluar! Keluar kamu!" teriak Tika sambil menunjuk ke arah pintu.

Bibir Tito terbuka, hendak menegur, namun raut wajah sedih Tika, terutama raut kelelahan dan tubuhnya yang kian mengurus itu meremas jantung Tito membuat Tito pun mengalah pada keadaan. Ia pun mengangguk lirih kemudian berjalan keluar tanpa banyak berkata, sementara itu Tika yang baru ditinggalkan Tito itu pun terpaku di tempatnya.

Air mata Tika masih mengalir, namun Ia tidak lagi terisak. Entah karena dirinya yang telah terbiasa atau karena pintu hatinya sudah tertutup untuk laki-laki itu. Dan jikalau hal itu benar-benar terjadi, siapa yang rugi?

Tidak ada. Tidak ada sama sekali. Karena sudah sejak awal hanya dirinya yang menderita kesakitan ini. Hanya dirinya.

Ketika itu Tika pun memejamkan kedua matanya, membiarkan air matanya terus mengalir dalam keheningan sampai ia kembali terlelap dengan satu harapan, andai ia mati maka ia bisa hidup lebih bahagia tanpa laki-laki itu. andai... andai.

KALEIDOSCOPICWhere stories live. Discover now