(11A) DREAMS

6.8K 588 29
                                    

****

"Bukan diamku pertanda menyerahnya hatiku tetapi diammu membuatku bertanya lagi seberapa kuat hatiku." - unknown

***

Aku terbangun setelah seorang pramugari menguncang tubuhku. Kedua mataku menyipit. Aku menguap pelan saat rasa kantuk masih mempengaruhiku. Keningku menyergit saat mengingat sesuatu. Dengan gerakan cepat aku bergerak melihat tempat di sampingku. Kosong. Mau tidak mau aku tersenyum miris. Dan apa yang kuharapkan? Bukankah kenyamanan tadi hanya mimpi belaka?

"Thankyou." Aku bergumam dengan nada bergetar. Sedikitnya rasa sakit itu masih membekas di dada. Aku menahan napasku sepanjang perjalanan menuju ke bandara. Sesampainya di terminal Ferry male, aku langsung bergegas menaiki kapal ferry. Sepanjang perjalanan, hatiku begitu risau. Di dalam benakku hanya ada satu orang.

Dannis.

Memikirkan dia membuatku menahan napas. Tidak. Tidak. Untuk apa lagi aku memikirkan si brengsek itu? Laki-laki itu hanya selalu mampir dalam mimpi. Sialan. Aku meremas rambutku dengan kesal. Semua karena mimpi itu! Jika tidak aku pasti sudah bisa mengambil banyak foto sedari tadi, bukan hanya benggong tak bertujuan seperti orang tolol.

Pulau Maafushi merupakan tujuanku. Perjalanan menggunakan kapal ferry bukannya menjernihkan pikiranku, malah membuatku semakin memikirkan laki-laki itu. Setelah menyimpan barang-barangku di resort, aku langsung menuju ke pantai. Setidaknya dengan pantai, aku bisa melupakan laki-laki itu.

Beberapa pasangan couple yang sedang bermesraan di tepi pantai seolah mengejek kedatanganku yang seorang diri. Rasa tidak nyaman menyelimuti apalagi aku sedang memakai bikini berwarna pink. Aku mengusap tubuhku sambil menghela napas kuat. Tenang, Din. Tenang. Kamu ke sini untuk liburan 'kan?

Pemikiran itu sedikitnya mempengaruhiku. Moodku menjadi sedikit lebih bagus. Dengan kamera ponselku, aku memulai ritualku jika sedang berlibur yaitu berfoto dan bervideo. Walau seorang diri, aku juga pantas untuk bahagia bukan?

Angin semilir membelai manja diriku. Rambutku berterbangan tapi aku tidak peduli. Yang ada di otakku hanya berlari kencang dan bermain air sampai puas. Entah apa yang merasuki diriku. Aku tidak bisa berenang tetapi aku malah mendekati air pantai. Dinginnya air mengejutkanku, namun tak ayal tanganku kembali kutenggelamkan di dalam air.

"Sini. Hei. Pegangan!"

Suara itu mengejutkanku. Sontak aku mundur hingga terjatuh di pasir. Kedua mataku berkeliling,mencari sumber suara. Jantungku berdegup kencang saat kutemukan Dannis di sana dengan tunangannya, Intan. Laki-laki itu shirtless. Dengan speedboat itu, Intan memeluk Dannis dengan begitu erat. Tubuh mereka menempel tanpa celah.

Napasku tercekat. Kedua mataku berkaca-kaca. Rasanya aku ingin pergi saat ini, namun akal sehatku bekerja keras. Bukan takdir namanya jika kami bertemu lagi. Lagipula, apa hubungan Dannis denganku lagi? Aku tidak peduli. Tidak dan tidak akan pernah peduli dengan laki-laki itu.

Aku langsung berlalu pergi dan mencari tempatku sendiri. Keinginan untuk bermain air hilang begitu saja. Kuputuskan untuk berjemur. Persetan dengan warna kulitku. Aku butuh tidur di tempat terbuka dengan angin semilir yang berhembus, aku ingin bebas.

Tidak terasa hampir satu jam aku berjemur. Aku bergedik ngeri saat melihat kulitku yang menjadi kemerahan. Oh! Bahaya! Aku langsung berlari menuju resort. Bersiap-siap mandi dan menggunakan lotion, namun sialnya takdir sedang tidak berada di pihakku. Di depanku sosok Dannis dan Intan sedang bergelut mesra. Aku hampir mual. Saat pintu lift terbuka, tiba-tiba muncul di benakku untuk melarikan diri, namun untuk apa?

KALEIDOSCOPICWhere stories live. Discover now