(11) DREAMS

12.5K 655 70
                                    

***

"Aku tak pernah menghapus kenangan. Yang ku lakukan hanya berusaha terbiasa tanpamu dan menahan tangis." - unknown

***

Semula semua baik-baik saja baik antara dia atau aku. Kami berkomunikasi dengan baik, kami mencoba saling mengerti satu sama lain, saling memahami, saling memiliki dan saling mencintai, namun pada akhirnya sesuatu yang diusahakan akan mencapai suatu titik jenuh. Sama seperti kami.

"Aku ngga setuju kamu diet-diet segala!" teriak Dannis

Sebenarnya aku ingin mencoba memahami. Aku ingin mencoba mengalah tetapi ego-ku sebagai wanita sudah sampai titik terakhir. Aku hanya ingin kurus. Apa salahnya? Bukankah jika aku kurus maka Dannis juga akan bahagia? Dia tidak perlu lagi malu jika membawaku nongkrong bersama teman-temannya. Setidaknya teman-temannya akan mengakui jika aku pantas bersanding dengan laki-laki setampan Dannis.

Aku frustasi. Kedua mataku berkaca-kaca saat melihat Dannis menyondorkan pizza padaku. Aku menepis pizza itu hingga jatuh berceceran di lantai.

"Aku ngga mau!"

Kedua mata Dannis membulat. Laki-laki itu tidak menyangka akan perubahan sang kekasih. Wajah Dannis memerah. Terlihat mengerikan. Aku bergedik ngeri. Tak sadar aku melangkah mundur saat Dannis melangkah mendekat.

"Dinna, kamu ...."

"Dan, aku mau kurus. Please, mengerti aku. Aku malu harus jalan-jalan sama kamu. Kamu begitu tampan dan aku begitu jelek dan gemuk! Apa kata orang? Mereka kira aku santet kamu!"

"Dinna, kamu percaya? Dan mengapa kamu harus dengar kata orang lain?" tanya Dannis melembut. Laki-laki itu menunduk. Ia menyentuh lembut bahu Dinna sambil tersenyum begitu manis.

Aku menggelengkan kepala. Tidak. Tidak. Aku ngga boleh membiarkan ketampanan Dannis mengagalkan niatku untuk diet lagi. Cukup satu tahun lalu Dannis mengiming-iming aku dengan liburan ke Jepang. Nyatanya sepulang dari liburan aku semakin gemuk lima kilo! Bayangkan. Aku stress. Aku ingin kurus. Dan aku mulai putus asa.

"Karena aku ngga mau dibilang ngga pantas sama kamu! Dan, tolong mengerti aku. Aku mau kurus. Aku mau cantik. Bukan hanya si Laura!!" teriak aku mengejutkan Dannis.

Aku tersenyum miris melihat raut wajah Dannis yang berubah seketika. Wajah tampan Dannis mendingin. Aura kemarahan mulai mencuat. Laura memang memiliki pengaruh yang besar dalam hidup Dannis. Bagi Dannis, Laura adalah cahaya hidupnya, sementara aku .... Hanya pelabuhan sementara.

"Ka, kamu ngga sungguh-sungguh 'kan jadian sama cewek kampung itu?!" tanya Laura sambil berkacak pinggang.

Wajah wanita itu semerah tomat. Mau tidak mau Dinna harus mengakui jika hal itu semakin mempercantik Laura, adik tiri Dannis. Dinna sengaja memilih tidak masuk ke dalam kamar Laura dan mendengar pembicaraan mereka. Entah mengapa ada sesuatu dorongan dalam dirinya yang memintanya agar mendengar pembicaraan itu walau dengan cara tidak sopan.

"Memangnya ada yang salah?"

Suara Dannis yang terlampau datar seolah tidak peduli itu membuat Dinna tersenyum. Setidaknya Dannis membelanya dalam keluarganya. Dinna memiringkan wajah,semakin tertarik dengan arah pembicaraan yang membuat jantungnya berdegup kencang.

"Tentu aja! Seharusnya kamu bisa mendapatkan pengganti aku yang jauh lebih baik dariku. Masa kamu pacaran sama cewek kampung seperti itu?!"

Aku menyergit. Apa maksud Laura? Pengganti Laura? Apakah aku tidak salah mendengar?

"Laura ...."

Suara itu membuat aku bergedik ngeri. Entahlah. Hatiku berteriak, seharusnya Dannis marah bukan berkata selembut itu pada adik yang telah menghina kekasihnya. Suara isakan tangis terdengar, membuatku mau tidak mau mengintip ke dalam. Kedua mataku membulat. Rasa sakit menumbuk uli hatiku saat melihat Dannis menarik dagu Laura kemudian mencium bibir Laura dengan lembut.

KALEIDOSCOPICTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang