(16B) DAY DREAM

5.1K 750 128
                                    

****

  "Jika bersamamu hanya merupakan mimpi, tolong segera bangunkan aku sebelum aku terlalu lama bermimpi bersama bayanganmu, karena itu berbahaya, baik bagimu dan bagiku." - author's quote

***         

Satu jam kemudian aku telah sampai di rumah. Langkahku tergesa-gesa. Entahlah. Tiba-tiba aku merasa takut dan tidak nyaman. Aku menyadari beberapa asisten rumah tangga yang memang hanya bekerja pagi hari melirikku dengan sorot cemas akan air mataku yang tiada berhenti tetapi aku tidak peduli. Aku bahkan tidak menyapa mereka seperti yang biasa kulakukan. Hatiku masih terlalu sakit untuk tersenyum.

Sesampainya di kamar, aku pun bergegas memasukkan barang-barangku ke dalam koper pink yang kubeli tiga bulan lalu. Tidak banyak yang kuambil dan juga tidak banyak barang yang kutinggalkan. Tak sadar aku tersenyum getir. Miris. Barang apa pula yang bisa kutinggalkan disini? Dicky tidak pernah membelikanku barang. Aku tahu laki-laki itu tidak pelit karena aku terlalu sering melihat Dicky membelikan barang-barang untuk keluarganya terutama teruntuk mama mertuaku dan adik iparku.

How it can be? Dia benci denganku dan merasa muak serta jijik bahkan hanya untuk membelikanku barang. Satu-satunya yang bisa kutinggalkan disini hanya kenangan. Aku tidak mau memikirkan Dicky lagi. Dia begitu kejam.

Dicky dan Nadia telah berada di ruang tamu ketika aku kembali dari kamar. Dengan refleks aku melirik sekelilingku yang telah kosong. Apa mereka meminta para asisten rumah tangga untuk pulang? Ah. Aku tidak seharusnya peduli. Toh aku juga akan segera keluar dari rumah ini.

"Sorry,Nad. Aku lagi ngga mau bicara denganmu untuk saat ini." ujarku saat kulihat Nadia berjalan mendekatiku. Kata-kataku berhasil membuat Nadia berhenti melangkah. Aku mendapati air mata Nadia serta sorot wajahnya yang penuh rasa bersalah. Hatiku menjadi semakin sedih. Nadia berkorban terlalu banyak untukku. Tetapi aku tidak bisa berbicara dengan Nadia dihadapan Dicky sekarang. Bisa-bisa Dicky berpikir aku akan memaafkannya jika berbicara dengan Nadia. Tidak! Tidak boleh terjadi.

"Han, kamu jangan langsung berpikir negative dong? Jangan langsung ambil keputusan seperti itu. Kamu 'kan lagi hamil." Nadia membalasku dengan nada yang gemetar. Sepertinya dia akan menangis. Aku menarik napas pelan dan memutuskan berjalan mendahuluinya.

Samar-samar kurasakan tatapan Dicky padaku. Aku merasa semakin marah. Rasanya aku ingin menampar Dicky saat ini juga tetapi aku tidak boleh menamparnya. Bukan karena aku takut padanya. Aku hanya tidak mau memperlihatkan betapa terlukanya aku. Aku tidak mau Dicky tahu bahwa aku benar-benar mencintainya sementara dirinya hanya bermain-main denganku selama ini.

"Hanna!"

CRAP! Kurasakan sentuhan Dicky pada tanganku. Dengan refleks aku menepis tangannya dan mengambil jarak yang sangat kentara diantara kami. Air mataku hampir jatuh saat kedua pasang mata kami bertemu. Mata biru itu! Oh! Tolol. Bagaimana bisa aku jatuh cinta pada kedua mata yang bahkan sama sekali tidak menyorotkan cinta?

"Nadia mau bicara. Jadi tolong dengarin dia." sambung Dicky

Aku tertawa cukup keras hingga membuat kakak beradik itu menatapku dengan binggung. Air mataku jatuh disela tawaku. Hatiku menjadi semakin hancur. Aku tahu Dicky sangat menyayangi keluarganya tetapi aku tidak pernah menyangka wujud dari kasih sayang Dicky pada keluarganya seperti saat ini yaitu memintaku mendengar Nadia berbicara, akan membuat hatiku sesakit ini.

"Kenapa aku harus?" balasku dingin. Aku bisa melihat kilat amarah di mata Dicky dan Dicky berjalan mendekatiku. Aku berusaha menahan diri agar tidak mundur. Aku tidak mau Dicky tahu bahwa tubuhnya, tatapannya, berhasil mengintimidasiku.

KALEIDOSCOPICWhere stories live. Discover now