(9A) DAME

5.9K 651 84
                                    

****

"Aku berada tepat dihadapanmu namun tak pernah terlihat olehmu. Aku selalu saja menjadi bayangan semu yang tak berarti dimatamu." - unknown

***

“Tika??!”
    
Suara mama memecah keheningan. Tika yang jatuh lemas itu pun mengangkat sedikit kepalanya, menatap mama Tito dengan bibir bergemetar. Tidak, tidak. Oh Tuhan. Tika menggelengkan kepalanya. Ia pun bangkit berdiri, hendak berdiri dan melarikan diri.

Orang tua Tito terutama mamanya tidak boleh melihat Tika lagi. Jikalau tidak pasti mama Tito akan menahan Tika dengan sekuat tenaga. Mama Tito memang menyayanginya bak putri sendiri, hanya saja keinginan ‘tuk memiliki keturunan tidak dapat wanita paruh baya itu pungkiri. Alhasil dirinya menyetujui permintaan sang nenek untuk menikahkan Tito dengan wanita lain.
    
“Tika?! Tunggu,Tika! Tika!” teriak mama mengejar Tika. Wanita paruh baya itu menahan tangan Tika kemudian menatap Tika dengan tatapan senduh.
    
“Tika, kamu kenapa? Bukankah kamu baru saja pulang? Ayo masuk.” Tukas mama lembut. Kelembutan itu tak sadar menggores luka hati Tika. Tika menggeleng dengan tegas sambil menarik tangannya menjauh. Ditatapnya mama dengan tatapan sedih dan bersalah.
    
“Ngga,ma. Mama saja. Tika mau beli keperluan bentar.” Tukas Tika lembut, berusaha terdengar menyakinkan.
    
“Tito bisa membelinya. Kenapa kamu harus repot-repot? Kamu baru saja sehat,Tika. Kamu seharusnya banyak beristirahat, bukannya berlari kesana kemari.” Tukas mama tidak setuju.

Mama pun menarik Tika kembali ke rumah namun Tika menahan langkahnya. Ia menolak untuk masuk kembali ke rumah itu. Lagipula apa gunanya kembali ke tempat yang tidak menginginkan dirinya. Karena jujur saja dirinya tidak akan pernah sanggup menahan rasa sakit hatinya. Hanya beberapa menit dirinya menyaksikan kemesraan itu, ia telah merasakan sakit bertubi-tubi menumbuk hatinya. Bagaimana lagi untuk berjam-jam ke depan atau untuk waktu yang tidak terkira. Rasanya lebih baik ia mati daripada hidup melihat kemesraan mereka.
    
“Mama aja ma. Tika mau sekalian latihan kaki. Sudah lama bukan Tika ngga berjalan-jalan. Kaki ini harus dilatih ma.” Kilah Tika
     
Kening mama menyergit. Ia menggeleng tidak suka sementara itu langit mulai gelap. Menantu kesayangannya pasti akan kehujanan.
    
“Tapi sudah mau hujan sayang. Besok saja ya.” Ucap mama lembut
    
“Ma,Tika lagi pengen jalan-jalan,ma,” ucap Tika tegas
    
Mama mengangguk mengerti. Ia pun meminta Tika menunggu sebentar sementara dirinya masuk ke dalam rumah. Selang beberapa menit, mama kembali bersama Tito dan Tiya yang berjalan di belakangnya. Kehadiran mereka sontak mengejutkan Tika. Tak sadar Tika melangkah mundur. Raut wajahnya berubah. Ketakutan kembali menyelimuti. Hatinya terasa sakit. Ia bahkan tidak mampu berkutik sama sekali saat mama kembali meletakkan cincin pernikahan yang dibuang Tito tadi di jari manis Tika.
    
“Cincin ini tidak boleh lepas sedikitpun dari jarimu,Tika. Ingat itu.” Ucap mama dingin. Mama pun melirik Tito dengan tajam. Entah apa yang dibicarakan mama, Tito bak patung berjalan. Laki-laki itu diam seribu bahasa dan saat mama meminta Tito menemani Tika, Tito pun mengangguk mengiyakan.
    
“Jangan tinggalkan Tika. Mengerti kamu?!” tukas mama kesal
   
“Itu mau mama bukan dari dulu.” Balas Tito dingin. Dirinya pun mencium puncak kepala Tiya dan langsung mengiring Tiya masuk mobil sementara itu Tika diam seribu bahasa. Dirinya masih mencoba mengontrol rasa sakit yang menghantam jantung. Bersamaan dengan itu pula Tito membunyikan kleson mobil berkali-kali.
    
Mama langsung mengiring Tika masuk ke mobil. Dengan sengaja mama membukakan pintu mobil bagian depan dan meminta Tiya tukar posisi dengan duduk di belakang. Raut wajah Tito langsung memerah. Dirinya terlihat menahan amarah yang hampir meluap di hadapan mama.
    
“Ma! Tiya sedang hamil!” tukas Tito
    
“Memangnya apa hubungan duduk di belakang dan di depan bagi wanita hamil?” Tantang mama. Ia menatap Tiya dengan sorot tidak suka namun Tika dapat melihat dengan jelas perubahan raut wajah mama saat melihat perut Tiya.
    
“Jangan manja kamu. Nanti anak kamu juga ketularan manja sepertimu! Ayo, duduk. Tiya duduk di belakang. Tika, kamu duduk depan.” ucap mama mendorong lembut Tika masuk.
    
“Tapi ma ....”
    
“Tidak ada tapi-tapian. Masuk!” ucap mama tegas
    
Tika menjadi tidak enak. Walau posisi seperti inilah yang selalu ia duduki dulu tapi semua itu kini tinggal kenangan. Yang pantas untuk duduk di sini adalah Tiya, bukan dirinya. Tak sadar dirinya melirik Tiya yang meneteskan air mata dan langsung buru-buru memalingkan wajah saat menyadari Tika sedang menatapnya.
    
Tika hampir tersandung ke depan saat Tito melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Bahkan Tika masih belum memakai seat belt dan posisi duduknya masih memiring. Tapi laki-laki itu, suaminya, tampak tidak peduli sama sekali.
     
Keheningan menyelimuti perjalanan. Tak ada seorang pun berniat memecahkan keheningan termasuk Tika. Tika masih sibuk dengan pikirannya. Jemari tangannya saling mengusap cincin di jemari tangannya dengan bergemetar. Ia menahan napasnya saat kilasan demi kilasan masa lalu nan romantis yang sempat terjalin di antara mereka. Ia melirik sesaat sosok suaminya yang tampak mengerutkan kening. Bahkan dulu jika suaminya mengerutkan kening, itu disebabkan ketidaksukaannya akan suatu hal tapi tak berujung seperti ini,dengan mengebut di jalanan, membunyikan kleson sesuka hati, tidak sabaran bahkan mengumpat.
    
Semua ini karena dirinya bukan? Suaminya berubah karena dirinya yang tidak bisa mengandung hingga karena kehadirannya. Semua ini... segala yang terjadi selalu karena dirinya.
    
Tak sadar Tika menyeka air matanya yang jatuh. Ia pun menunduk, menatap cincin tersebut dengan mata berkaca-kaca. Kemudian entah karena rasa sakit hatinya atau karena kesadaran diri jika memang bukan dirinyalah yang pantas menduduki posisi itu, Tika melepaskan cincin itu dengan hati-hati.

KALEIDOSCOPICWhere stories live. Discover now