"Ini balasan kamu untuk sahabat kamu?" ujar Dicky hampir terdengar marah. Aku mendengus. Ini balasan kamu atas cintaku yang tulus?!

"Kalau iya, apa maumu? Kamu mau pukul aku? Mau tampar aku? Sini! Lakukan saja sesukamu. Aku juga bisa sesukaku!" balasku. Langkah Dicky tertahan. Laki-laki itu tertawa kemudian dalam hitungan dua detik aku telah berada dalam pelukannya. Tubuh kami begitu rapat hingga tidak ada sedikitpun celah memisahkan selain pakaian kami. Aku mulai marah dengan kedekatan yang mengingatkanku akan kebodohanku.

Aku mencoba mendorong Dicky menjauh tetapi Dicky jauh lebih bertenaga dariku. Dia dengan segala kekuatannya berhasil mendudukanku di sofa. Aku benci ini, benci bagaimana Dicky mencoba mengontrolku. Tak sadar aku bangkit kembali dan Dicky kembali mendudukanku. Beberapa kali aku melakukannya dan beberapa kali pula Dicky mendorongku agar duduk kembali. Dorongannya cukup kuat.

Brengsek. Dia tidak tahu aku hamil?! Perbuatannya bisa saja menggugurkan kandunganku.

"Nadia. Kamu juga duduk." Dicky meminta Nadia agar duduk di sampingku. Aku tidak mau! Siapa Dicky? Aku tidak mau dikontrol Dicky sesuka hatinya! Aku kembali mencoba bangkit. Dicky kembali seperti biasa, ingin mendorongku agar duduk kembali. Aku sudah tidak tahan dan langsung menampar Dicky dengan cukup keras.

Tatapan Dicky menggambarkan dengan jelas bahwa dia marah padaku. Great. It was good make him mad on me. Aku mendorong bahunya agar menyingkir dariku tetapi Dicky menahan tangan kananku.

"Duduk!"

Aku masih bertahan pada posisiku. Kucoba menepis tangannya tetapi tidak bisa. Sial. Kenapa Dicky mempergunakan kekuatannya kepada wanita? Aku tidak mau. Demi apapun. Aku tidak mau Dicky membawaku untuk duduk tetapi aku tidak bisa berbuat apa-apa saat Dicky mengendongku agar duduk. Argh. Aku benci Dicky!

"Aku tidak mau bicara." Aku memulai pembicaraan itu dan mencoba bangkit lagi. Kali ini kudengar geraman Dicky kemudian kurasakan ciuman di bibirku. Kasar. Selalu kasar. Tolol. Kenapa aku baru sadar?

Kupukul dada Dicky. Tak sadar air mataku jatuh. Aku memalingkan wajahku saat dia menghentikan ciuman itu. Wajahku memerah. Aku meremas pakaianku, mencoba menenangkan diriku sendiri. Aku tidak boleh menangis. Tidak. Tidak. I can't!

"Kamu baru bisa diam kalau dicium?"

Sialan. Aku benci! Aku benar-benar benci cara Dicky mengatakan itu. Aku bahkan mendengar tawanya yang seolah menghinaku. Aku segera menarik tanganku saat kurasakan gengaman tangan Nadia.

"Don't touch me!"

Aku tahu jika Nadia mungkin akan menangis akan perkataanku tetapi aku tidak peduli. Sebenarnya, perkataanku itu ditujukan pada si brengsek Dicky tetapi aku tidak tahu bagaimana mengutarakan pada Dicky... aku bahkan tidak bisa menatap wajah Dicky lagi. Semudah ini baginya untuk menciumku? Bagus. Bagus,Dicky. Kamu berhasil membuatku semakin percaya dengan keputusanku sendiri.

"Aku mau bercerai." ucapku

"Tidak! Kamu lagi hamil!" Nadia menolak gagasanku. Aku tertawa getir membalasnya.

"Ada masalah kalau aku hamil? Ini bukan anak abang kamu juga,Nad!" balasku sembari mengingat-ingat kembali perkataan Dicky tadi. Tak sadar aku mengelus perutku sambil menarik napas pelan. Sayang, mungkin ini takdirmu tidak diinginkan ayahmu sendiri, gumamku dalam hati. Tidak. Aku harus mencari suami lagi. Tetapi begitu memikirkan wajah laki-laki lain membuatku semakin sedih. Argh. Ini semua tidak akan serumit ini jika aku tidak jatuh cinta dengan Dicky. Aku menggeram dalam hati.

KALEIDOSCOPICWhere stories live. Discover now