Jingga menangis lagi dan Yira pun tiba-tiba tidak bisa mengontrol perasaannya. Ia ikut menangis sambil memeluk bayinya. Sementara itu Rachel yang melihatnya itu pun diam-diam meneteskan air mata sedih.

***

"Lo yakin mau balik ke Indonesia? Ini baru jalan dua minggu suami lo dinas. Lo masih punya waktu dua minggu lagi dan lo bisa ...."

"Hel, gue bisa ngga minta tolong satu hal sama lo?" Yira berhenti mengemasi barangnya sambil menyerahkan satu buah dress berwarna krem kepada Rachel.

"Jangan pernah menyebut dia sebagai suami gue lagi. Gagasan itu begitu nerd." Ujar lirih Yira. Ia melirik dress krem yang berada di tangan Rachel dan berkata,"Itu hadiah perpisahan gue kasih lo. Jaga baik-baik itu. Karena gue mungkin ngga bakal balik ke tempat ini lagi."

Rachel hampir menangis. Begitu pula dengan Yira. Tetapi Yira mencoba agar tidak menangis. Ia menghembuskan napas kuat kemudian kembali lanjut berkemas.

"Gimana kalau suami lo –sorry- maksud gue pak Richard nanya lo dan Jingga dimana?" tanya Rachel. Yira mengerjap, sama sekali tidak terlintas di pikirannya akan pertanyaan itu. Selama beberapa hari belakangan ia hanya sibuk mencari penerbangan termurah.

"Dia ngga mungkin nanya Jingga. Dia ngga pernah peduli dengan anak gue apalagi gue. Lo tahu kan dia benci banget sama gue dan anak gue?" Ujar Yira sambil mencoba tertawa tetapi terasa begitu garing.

Rachel menghembuskan napas pasrah. Ia mengangguk kemudian koper Yira yang masih begitu kosong dengan pandanganlo gila?

"Gue malas ngambil barang-barang yang gue beli pake duit dia. Nanti dia bakal cari masalah sama gue hanya perkara duit dia. Saatnya memulai hidup baru bukan?" ujar Yira sambil tersenyum.

"Pesawat lo jam berapa?"

"Besok, Jam tiga. Kenapa? Lo mau nemanin gue?"

Rachel mendengus.

"Bukan lo tapi anak lo. Kasian dia. Masih kecil di bawa kemana-mana." Ujar Rachel kesal. Di satu sisi, ia juga menginginkan kebahagiaan bagi sahabat dan keponakannya tetapi di sisi lain ia tidak rela karena harus kehilangan mereka. Ugh.

Yira menyeka sudut matanya yang berair. Ia tidak tahan untuk membendung air matanya. Bagaimanapun hanya Rachel satu-satunya teman yang ia miliki selama berada dalam mansion ini. Hanya Rachel yang bisa menerima dan mengerti dirinya. Selama setahun lebih mereka saling berbagi cerita dan kini rasanya begitu aneh dan sedih karena meninggalkan curahan hatinya.

"Thanks karena udah mau menjadi teman curhat gue disini dan terima kasih karena menerima dan mengerti gue selama ini." Yira berujar dengan isakan tangis yang tertahan. Rachel mengangguk tanpa menjawab. Air matanya jatuh. Kali ini Rachel memeluk Yira dengan kuat. Ada perasaan sedih dan takut. Semuanya bercampur aduk dan kepala Rachel menjadi berat saat melihat nama di balik layar ponselnya yang berdering.

Sejenak Rachel meragu. Jantungnya berdegup kencang bak berada dalam arena tempur. Jingga menangis. Begitu pula dengan Yira. Apakah kedua orang terkasihnya itu akan bahagia jika kembali ke Indonesia?

"Ponselmu bunyi,Hel." Ujar Yira mengejutkan Rachel. Rachel memberi jarak diantara mereka sembari menimang-nimang. Rachel semakin gusar saat ponselnya tiada henti berdering. Ia bisa saja dipecat jika tidak mengangkat panggilan Pak Richard. Sial.

Sorry,Ra. Sorry..., gumam Rachel penuh penyesalan.

***

Yira baru hendak tidur setelah memastikan barang-barang yang akan ia bawa sore nanti sudah lengkap saat mendengar ketukan keras di pintu kamar. Siapa pagi-pagi buta seperti ini?, batin Yira

KALEIDOSCOPICWhere stories live. Discover now