(11) DREAMS

Mulai dari awal
                                    

Tuhan. Bahkan Dannis belum pernah menciumku!

"Jangan menangis ...."

Hatiku sakit melihat sosok Dannis yang begitu berbeda di hadapan Laura. Mereka terlihat begitu rapuh dan saling .... Mencintai. sementara denganku, Dannis tidak pernah bersikap seperti itu. Kami hampir selalu bertengkar dan selalu meminta maaf kemudian. Dannis hanya pernah mengecup keningku dan memelukku saat aku merengek meminta Dannis agar tidak pulang terlalu cepat.

"Maaf. Tapi aku harus pulang. Kamu tentu ngga lupa 'kan kalau adikku pulang dari London hari ini?"

Begitulah kata Dannis waktu itu. Aku tahu dengan jelas. Aku hapal betul sikap laki-laki yang sudah menjadi pacarku. Ia sangat jarang tersenyum apalagi menatapku dengan penuh cinta seperti itu. Tetapi mengapa Dannis memberikan tatapan itu pada Laura?Dan ciuman tadi? Oh Tuhan. Rasanya aku ingin menampar Laura. Kedua tanganku terkepal, mencoba menjadi saksi bisu diantara mereka.

"Pergi kamu! Kamu 'kan maunya sama cewek kampung itu."

Dannis memeluk Laura, menahan Laura sebisa mungkin sambil mengumamkan kata maaf berkali-kali sementara itu Laura mencoba melepaskan diri.

"Laura ..."

"Ngga! Lepas!"

"Laura, dengarkan aku dulu,oke?!"

Dannis hampir berteriak dan Laura akhirnya berhenti mengelak. Sudut mata wanita itu berair. Dannis menyekanya kemudian mengecup kening Laura dengan lembut. Oh! Bahkan cara Dannis mencium Laura dan aku saja berbeda!

"Aku lagi melakukan tantangan yang diberi Bores. Kamu tahu Bores 'kan? Yang pernah naksir kamu itu? Dan ... Dan lagipula aku hanya bermain-main. Mungkin aku ngga akan bisa menemukan yang seperti kamu tetapi setidaknya aku bisa sejenak melupakanmu dengan bermain dengan tantangan itu."

Ketika itu aku hampir jatuh lemas. Bores. Ya aku tahu dia. Dia teman kuliahku yang paling mengesalkan. Dia memang tidak menyukaiku karena dia pernah kepergok ciuman bersama dosen kami olehku.

Aku langsung berbalik badan sambil menutup mulutku. Tubuhku bergetar. Hatiku sakit. Kepercayaanku dikhianati. Bagaimana mungkin Dannis mencintai adiknya sendiri? Dan ... Dan bagaimana bisa aku percaya dengan laki-laki itu?

Aku marah. Aku ingin memutuskan Dannis, namun laki-laki itu datang dengan laku dan tindakan seolah tidak bersalah sama sekali. Ia masih bisa mencium keningku dan membawaku makan, mengengam tanganku dan membawaku pulang ke rumah dengan fortuner miliknya.

"Tidur yang nyenyak ya. Jangan lupa mimpiin aku."

Aku ingin tersenyum. Sungguh. Tetapi aku ngga bisa. Aku kaku dalam pelukan Dannis. Air mataku tumpah. Aku ingin putus tapi aku takut kehilangannya. Oh! Sebenarnya apa mauku sih?

"Aku mencintaimu."

Bisikan Dannis membuatku tersenyum miris. Cinta? Cinta inikah yang laki-laki ini maksud? Bagaimana aku bisa percaya? Dan ... Tunggu. Mengapa jantungku berdegup kencang saat kedua pasang mata kami saling beradu?

"Bolehkah aku menciummu?"

Pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban. Laki-laki itu menciumku. Aku hampir terjerat dalam pesonanya sebelum kedua mataku menangkap sosok Bores di ujung jalan rumahku. Itu mobilnya. Dengan plat nomor BDxxx, aku tahu itu Bores!

Ketika itu aku mengakhiri ciuman itu dan bergegas masuk ke rumah dengan hati yang hancur. Aku memang tidak sempat mengakhiri hubungan kami tetapi setidaknya aku tahu betul jalan mana yang harus aku pilih, yaitu mengikuti arus permainannya entah sampai kapan. Mungkin sampai aku lelah atau sampai aku tidak bisa lagi membedakan mana cinta yang asli dan palsu darinya. Sebab sesungguhnya aku begitu mencintai Dannis. Mungkin memang dia tidak mencintaiku tetapi aku tidak mau kehilangan dia.

KALEIDOSCOPICTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang