Perkataan itu menyimpulkan segalanya jika laki-laki itu memang tidak menginginkan keberadaannya lagi. Tak sadar Tika mengigit bibir bagian dalamnya sambil mengepalkan kedua tangannya. Ia mencoba bertahan akan tatapan itu. Ia mencoba agar tidak menangis saat kedua mata itu meneliti sekujur tubuhnya.
    
“Jadi, kamu tidak menginginkanku lagi?” Tanya Tika memberanikan diri
    
“Kamu kira kamu siapa?” Tanya Tito membalas membuat Tika menyungginkan seulas senyum getir. Cukup. Cukup dengan kata itu dan dirinya telah mengerti dengan sangat jelas jika dirinya memang tidak lagi berharga.
    
“Istrimu tuamu yang tidak mampu untuk memberimu keturunan. Bukankah begitu?” balas Tika dengan nada bergetar. Ia mencoba untuk tersenyum saat sorot mata laki-laki itu berubah. Langkahnya mendekat dan hampir menubruk Tika. Seberusaha mungkin Tika menahan dirinya agar tidak melangkah mundur.
    
Oh Tuhan. Aroma ini … aroma ini adalah aroma favoritnya sepanjang hidupnya.
    
Mereka tertahankan dalam jarak beberapa senti. Tinggi badan Tika yang memang jauh lebih rendah dari Tito pun hanya mampu menatap dada laki-laki itu, dada yang membuat Tika tersadarkan jika kini ada tangan lain yang menyentuh di sana. Ada tangan lain yang dibutuhkan laki-laki itu kini. Tak sadar Tika menahan napasnya. Ia pun memberanikan diri mengangkat kepala, membalas tatapan tajam dan menusuk laki-laki itu dengan tatapan terluka. Sesaat … hanya sesaat sebelum akhirnya ia menatap Tito dengan tatapan datar.
    
“Aku sadar,To. Sangat sangat sadar. Kehadiranku memang tidak lagi dibutuhkan. Maaf karena kelancanganku memasuki ruang privasi kalian. Aku hanya belum sadar tadi dan terima kasih karena kamu telah menyadarkanku akan satu hal.” Tukas Tika dengan kedua mata berkaca-kaca.

Tangan Tika pun dengan gemetar melepaskan cincin pernikahan mereka yang masih senantiasa terpasang di jari manisnya kemudian dengan hati-hati mengambil tangan Tito dan meletakkannya di telapak tangan Tito.
    
“Kamu yang beli cincinnya bukan? Karena itu aku mengembalikannya, termasuk semua barang-barang ini. Pakaian-pakaian, sepatu, tas, segalanya … segala yang pernah ada. Aku mengembalikan segalanya padamu. Itu semua uangmu.” Sambung Tika sambil menunjuk penjuru ruangan. Tatapannya berhenti saat menemukan foto pernikahan mereka yang masih terpajang di dalam kamar. Air matanya mengalir ketika itu. Akal sehatnya berteriak agar menyekanya, namun batinnya lelah. Untuk apa jikalau Tito juga telah melihatnya?
    
Ia lelah …  ia lelah akan pengkhianatan ini.
    
“Dan itu … kamu boleh membakarnya. Tidak baik untuk adik bayi. Mungkin aku terlambat but congratulation,To. Kamu akan menjadi seorang ayah. Sudah impianmu dari dulu bukan.” Tukas Tika.
    
Tito menatap Tika dengan sorot tidak suka. Ia mencampakkan cincin pernikahan itu ke lantai kemudian mencengkram bahu Tika dengan keras. Kepalanya menunduk, menatap ke dalam mata Tika, sambil bertanya,“Apa maksudmu? Berhenti berakting!”
    
Saat kedua pasang mata mereka beradu dalam satu titik terdekat, saat itu pula air mata Tika mengalir semakin banyak. Ia merasa sangat sakit akan tatapan yang begitu menghujamnya. Sentuhan itu kini terasa begitu menyakitkan. Cengkraman ini bahkan terasa hampir meremukkan tulang Tika jika saja dirinya tidak terjatuh.
    
Bahkan laki-laki itu tidak mau repot-repot membantu Tika bangkit berdiri.
    
Tika meringis sakit sambil menyentuh kakinya. Seberusaha mungkin Ia mencoba bertahan akan bahu yang sakit. Ia tidak mau bahkan untuk meringis sakit di bahu itu, bahu bekas sentuhan laki-laki itu. Beruntung ada kursi di sekitar Tika sehingga Tika mampu bangkit berdiri dengan bantuan kursi itu.
    
“Seharusnya kakimu sudah sembuh.” Tukas Tito dengan nada mencela
    
“Apakah itu urusanmu?” balas Tika seketika membuat kedua mata Tito berkobar marah. Ia kembali menarik Tika hingga membuat punggung Tika menubruk lemari.
   
“Jangan pernah berani menentangku! Kamu mengerti?!” ucap Tito menekankan setiap katanya. Tangan-tangan itu terulur, menarik rambut sebahu Tika. Tubuh itu merapat, mengenai bagian depan tubuh Tika, membuat Tika tak sadar memejamkan mata akan tubrukan itu kemudian rasa sakit kembali menghantamnya.
    
Laki-laki ini sudah menjadi begitu kasar. Laki-laki ini … mengecewakan dirinya.
    
“Tidak. Tidak sama sekali. Aku tidak mengerti dirimu yang sekarang. Aku … memendam kekecewaan yang begitu besar padamu. Dimana Tito-ku yang dulu?” Balas Tika sambil menggelengkan kepalanya.

Oh Tuhan. Mengapa Ia malah berbicara sampai ke jalur itu? Ia tidak lagi sepantasnya berbicara demikian. Tito-nya sudah mati bukan sejak dirinya divonis tidak mampu mengandung?
    
“Tito-mu? Lelucon apa yang kamu maksud? Aku, Tito, bukan Tito-mu.” Tukas Tito
    
“Ya memang. Kamu memang bukan lagi Tito-ku.” Ucap Tika sambil membuka kedua matanya menatap Tito. Tika yakin wajahnya pasti sudah memerah saat ini. Ia tidak berusaha melawan. Ia tidak berusaha memberontak saat Tito mengangkat tangan Tika ke atas, menyatukan kedua lengan Tika hanya dengan satu tangannya sementara tangannya yang lain menahan bagian belakang leher Tika.
    
“Aku bukan Tito-mu bahkan sejak dari dulu sampai sekarang. Berhenti mengingatkanku akan masa menjijikkan itu!” teriak tertahan Tito membuat Tika menipiskan bibirnya. Ia mencoba terlihat tenang saat kobaran amarah yang tercetak di mata Tito beradu dengan sorot matanya yang memancarkan keterlukaan dan saat mereka saling bertatapan dalam kediaman, Tika pun mengangguk mengiyakan sepenuhnya.
    
I will and I won’t make you remember about us anymore because my tito has been died when I got that accident. And yeah … the man who stand in front of me, isn’t him anymore. Aku sadar,To. Aku sadar. Same people with different feelings.” Ucap lirih Tika.
    
Tika memejamkan mata, bersiap menerima tamparan Tito jika saja Tiya tidak berada di tengah-tengah mereka. Wanita itu memang terlihat begitu licik namun kali ini .. untuk kali ini saja Tika mengakui jika Tiya sedikit berbaik hati menahan tangan yang hampir menamparnya. Jika tidak, Tika yakin dirinya akan terisak disini, di hadapan laki-laki yang telah berkhianat demi keturunan, demi napsu.
    
“Tito! Sadar. Untuk apa kamu marah-marah hanya karena dia?!” tukas Tiya marah. Ia pun memeluk Tito sambil membenamkan kepalanya di dada Tito sementara itu Tito tidak dapat berkutik lagi sama sekali. Istri mudanya bagai poros kehidupan Tito saat ini. Padahal dulu Tika lah yang mengisi posisi itu.
     
Tak sadar Tika bergedik akan pemikiran itu. Ia pun menggelengkan kepalanya sambil merapikan pakaian dan rambutnya kemudian bersiap melangkah pergi sebelum suara Tito kembali menahannya lagi dan lagi.
    
“Kalau kamu keluar barang kali selangkah saja dari rumahku maka jangan harap untuk kembali lagi bahkan jika kamu berlutut memohon-mohon padaku, Tiya atau pun keluargaku.” Tukas Tito marah dibalas Tika dengan anggukan lirih.
    
Tika menggerakkan kepalanya agar menatap wajah Tito kemudian meneteskan air mata karena melihat posisi Tito dengan Tiya. Pada akhirnya dengan berat hati Tika harus mengakui jika memang tempat itu lebih pantas diisi Tiya, bukan dirinya.
    
Tika pun menyeka air matanya sambil menggepalkan kedua tangannya kemudian berbisik dengan hati yang hancur.
    
“Itu bukan lagi tempatku.”
    
Laki-laki itu tertegun selama seperkian detik sebelum akhirnya mengubah raut wajahnya dengan dingin sementara itu Tika menanggapinya dengan sorot datar yang berusaha ‘tuk Ia tampilkan di hadapan Tito.
   
“Aku pergi dulu ya,To. Terima kasih telah mengajarkanku mengerti arti dari suatu kesetiaan. Selamat tinggal … Selamat tinggal,To. Aku … aku permisi.” Bisik lirih Tika kemudian berbalik badan, melangkah pergi.
     
Kali ini laki-laki itu tidak memanggilnya lagi. Laki-laki itu membiarkan Tika pergi tanpa berusaha menahan Tika atau memeluk Tika seperti dulu. Benar, mungkin dirinya yang lupa akan daratan. Waktu satu tahun dapat mengubah segalanya. Laki-laki itu butuh wanita yang mampu mengimbangi dirinya, yang mampu berdiri di sisinya tanpa rasa malu dan yang terpenting yang mampu memberi keturunan yang tidak mampu Tika berikan.
     
Tika menunduk, menatap tangannya yang saling bertautan. Ia pun langsung jatuh lemas saat telah menutup pintu rumah itu. Dadanya terasa sesak. Ia merasa kekosongan dalam jiwanya. Ia merasa aneh. Selama ini … selama ini ia belum pernah diperlakukan demikian namun oleh laki-laki yang Ia percayakan hidupnya sepenuhnya selama ini lah yang memperlakukannya demikian.
    
Jikalau begitu, mengapa dulu laki-laki itu meminta Tika untuk bangkit?
    
Untuk melihat kemesraannya dengan wanita lain? Untuk membuat Tika cemburu?
    
Tak sadar Tika memukul dadanya yang terasa sakit sambil merintih. Kedua matanya pun terpejam tatkala merasakan suatu cahaya menyinarinya. Cahaya apakah itu? Apakah Ia akan ditabrak untuk kedua kalinya lagi?
     
Jikalau ya, maka tabrak lah dirinya sekeras mungkin agar dirinya mati karena hanya kematian lah yang Ia inginkan saat ini. Ia ingin mati dan tidak lagi terbangun. Semoga saja ini benar-benar terjadi.

****
Update new short story..
Oke.. ini belum tentu menjadi cerbung. Mungkin hanya akan berakhir sampai disini... atau bersambung. Semuanya tergantung voment.. karena itu beri voment yang banyak ya...

Kali ini.. sad romance again and again.

Selamat malam dan selamat membaca..
   
    

KALEIDOSCOPICWhere stories live. Discover now