Darah Sonya semakin mendidih. Perpaduan kemarahan kemarin malam karena kelakukan Damar dan sikap otoriter Damar saat ini. Sonya mendengus. Ia memperat pelukannya pada Garendra dan memandang Damar dengan sinis.

" Kamu berbicara seolah aku setuju mau pergi sama kamu. Maaf, aku sibuk. Waktu kami tidak hanya untukmu. Jadi sekarang tolong keluar dari rumahku dan jangan kembali lagi." Tukas Sonya berjalan mendekati pintu. Sebelah tangannya membuka pintu rumah selebar mungkin.

Kedua mata Bunda terbuka lebar. Bunda berjalan mendekati Damar dan Sonya yang sedang saling memandang satu sama lain. Bunda berdeham pelan. Wajah Bunda tercetak jelas kemarahan untuk Sonya.

Hal itu membuat Sonya semakin geram. Siapa sih anak Bunda sekarang?! Untuk apa Bunda membela Damar dan berusaha membujuk Sonya mempertahankan rumah tangga ini sementara Damar saja terang terangan menunjukkan pengkhianatannya. Memangnya Bunda tidak sakit hati?

" Kamu masih marah dengan kejadian semalam?" Tanya Damar tanpa canggung dengan kehadiran Bunda sama sekali.

" Sini Garendra sama Bunda saja dulu. Enggak baik anak kecil mendengar pertengkaran orang tua." Tukas Bunda mengambil Garendra dari pelukan Sonya. Sempat Bunda memandang Sonya dengan tajam sebelum meninggalkan Damar dan Sonya berdua di ruang tamu.

Sonya berniat kembali ke kamar setelah melihat Bunda membawa Garendra pergi. Rasanya Ia malas berdebat dengan Damar kembali. Pada akhirnya Ia dan Damar memang hanya akan seperti ini. Selalu berdebat tanpa suatu titik terang hingga mencapai suatu titik jenuh seperti saat ini.

" Masih marah?" Tanya Damar datar namun kedua matanya tidak terlepas sesenti pun dari Sonya. Sonya mengendikkan bahu acuh. Kedua matanya memandang pintu rumah yang baru saja di tutup Bunda.

" Untuk apa aku marah? Aku sama sekali enggak punya alasan untuk marah." Jawab Sonya datar. Kepalanya bergerak, membalas tatapan datar Damar. Raut wajah dingin masih tercetak jelas di wajah tampannya. Kedua mata tajamnya memandang Sonya dengan dalam.

" Aku hanya tidak suka kamu masuk ke dalam rumahku. Bukannya sejak dulu kamu enggak pernah suka dengan rumah ini apalagi dengan keluargaku? Jadi tolong tidak perlu bersikap seolah kamu menghargai keluargaku. Tidak ada satu alasan pun kamu bisa datang ke rumahku. Sekarang tolong keluar." Sambung Sonya dingin.

Sonya melihat jelas raut wajah Damar mengeras tapi apa pedulinya. Sonya benar benar kehilangan rasa pedulinya pada Damar. Kelakuan Damar padanya semalam cukup menggores luka di hatinya. Sonya kembali membuka pintu rumahnya, mempersilahkan Damar untuk angkat kaki dari rumahnya.

" Jam dua belas nanti gue jemput." Ucap Damar dingin berjalan menuju pintu.

" Enggak perlu repot repot. Kami juga enggak mau." Balas Sonya ketika Damar hampir melewatinya.

Damar menggeram. Pria itu menarik nafas pelan. Kepalanya bergerak memandang Sonya. Sebelah tangan Sonya mengengam kenop pintu dengan erat, bersiap menerima amukan Damar.

" Terserah." Tukas Damar dingin meninggalkan Sonya yang masih menahan nafas beberapa detik.

Sonya langsung menutup pintu rumahnya sesaat setelah kepergiaan Damar. Tubuhnya bersandar pada pintu rumah dengan dada naik turun, tidak menyangka Damar tidak memarahinya seperti biasa.

Kedua matanya terpejam selama sesaat, membiarkan rasa sesak dalam hati kembali menghinggapi hatinya. Suara mobil Damar meninggalkan perkarangan rumah membuat Sonya menarik nafas lega.

Kedua matanya memandang jam dinding lalu menggeleng pelan. Lagipula untuk apa Ia peduli. Damar sama sekali tidak terpengaruh atau kehilangan jika Sonya dan Garendra tidak ikut karena memang mereka bertiga selalu seperti ini dan akan selalu seperti ini. Aliran darah Damar mengalir dalam tubuh Garendra saja tak akan cukup mendekatkan mereka bahkan hingga kematian di depan mata.

KALEIDOSCOPICOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz