>“Kamu dulu suka nangis kalo aku ambil mainanmu, inget nggak?”

Hana tersenyum kecil. Lalu membalas,

“Inget. Tapi aku suka kamu balikin juga pas aku nangis.”

Dan… entah kenapa, chat itu terasa lebih ringan untuk ditulis.

Keesokan Harinya

Di sekolah, Ryan benar-benar menunggu Hana di depan gerbang. Tapi hari itu, Hana memutuskan berangkat sendiri, jalan kaki pelan dari rumah. Ia ingin berpikir. Menemukan ritme yang sempat hilang dari dalam dirinya.
Sesampainya di kelas, suasana tetap seperti biasa. Tapi bagi Hana, semuanya mulai terasa asing.

Risa lebih sering bersama teman baru dari kelas teater. Ika sibuk dengan kegiatan OSIS dan kedekatannya dengan Reno. Anissa jarang terlihat kecuali saat pelajaran.
Dan di tengah semua itu, Hana merasa sendiri, walaupun dikelilingi banyak orang.

Pulang sekolah hari itu, Hana tidak langsung pulang ke rumah. Ia memutuskan untuk berjalan ke taman kecil dekat komplek tempat yang dulu sering ia datangi saat masih SD. Suasananya masih sama: tenang, sepi, dan sedikit berdebu, tapi tetap membawa rasa nyaman yang familiar.

Ia duduk di bangku kayu tua yang terletak di bawah pohon besar. Dari dalam tasnya, ia mengeluarkan buku catatan kecil. Bukan buku pelajaran, tapi buku tempat ia menulis hal-hal yang sulit diungkapkan secara langsung.

"Aku memang suka Ryan," tulisnya pelan. "Tapi aku juga nggak bisa bohong kalau kehadiran Rafa bikin pikiranku jadi campur aduk. Lalu teman-temanku, satu per satu mulai terasa jauh. Aku yang salah? Atau aku hanya terlalu sibuk ngurusin perasaan sendiri sampai lupa bahwa mereka juga butuh aku?"

Hana menghela napas panjang. Ia tahu ia butuh waktu. Bukan untuk lari dari semuanya, tapi untuk memberi jarak agar bisa berpikir lebih jernih.

Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Ryan.
Kamu di mana? Kalau kamu capek, aku bisa nyusul.

Hana memandangi layar ponselnya, tapi tidak langsung membalas. Tak lama kemudian, pesan lain muncul, kali ini dari Risa.
Han, kamu nggak apa-apa? Kita semua ngerasa kamu berubah. Kalau ada apa-apa, cerita ya.

Senyum tipis muncul di wajah Hana. Ia merasa bersalah, tapi juga sedikit lega karena ternyata masih ada yang peduli.

Ia pun mulai mengetik balasan, pelan-pelan.
"Maaf ya, aku cuma butuh waktu sendiri dulu. Aku akan balik lagi, janji. Cuma sebentar aja."

Setelah itu, Hana menutup bukunya. Ia menatap langit sore yang mulai berwarna jingga, menghirup udara perlahan. Rasanya belum sepenuhnya lega, tapi setidaknya ia tahu, ia tidak akan terus-menerus tersesat.

Malam itu, langit mendung seperti menyimpan sesuatu. Udara dingin dan jalanan kota mulai lengang. Hana baru saja keluar dari minimarket kecil, menenteng satu tas plastik berisi camilan dan minuman. Ia memutuskan untuk pulang sedikit lebih malam dari biasanya, ingin menikmati udara malam sambil berkendara pelan di atas motornya.

Lampu jalan menerangi sebagian sisi jalan, tapi ada satu tikungan tajam yang remang-remang. Hana tidak terlalu memperhatikan ia sedang melamun, pikirannya kembali mengambang ke berbagai hal: Ryan, Rafa, teman-temannya, dan hidupnya yang belakangan mulai terasa rumit.

Namun tiba-tiba, sebuah mobil melaju dari arah berlawanan dengan kecepatan tinggi. Dalam sepersekian detik, suara klakson terdengar keras, diikuti suara benturan logam dan tubuh yang terbanting ke aspal.

Tas belanjaan Hana terlempar. Motornya meluncur jauh, sementara tubuh Hana terkapar di sisi jalan dengan luka parah di kepala dan tangan. Beberapa pengendara yang kebetulan melintas langsung menghentikan kendaraan mereka dan mendekat.

Vous avez atteint le dernier des chapitres publiés.

⏰ Dernière mise à jour : Jun 08 ⏰

Ajoutez cette histoire à votre Bibliothèque pour être informé des nouveaux chapitres !

Part Of ClassOù les histoires vivent. Découvrez maintenant