••••••~~ HAPPY READING GUYS ~~••••••
~✨~
~✨~
~✨~
~✨~
••••••💫••••••
Suasana sekolah hari itu terasa sedikit berbeda. Sejak hubungan Hana dan Ryan dipublikasikan, banyak tatapan dan bisik-bisik yang mengikuti langkah mereka. Tapi Hana mencoba tetap biasa saja. Ia tahu, ini risiko dari memilih terbuka.
Di sisi lain, Rafa semakin sering muncul. Bukan dengan cara yang mencolok, tapi cukup untuk membuat Hana merasakan tekanan dalam diam. Terlebih, kehadirannya secara tidak langsung membuat teman-teman Hana Risa, Anissa, dan Ika merasa seperti kehilangan ruang.
“Aku kangen ngobrol biasa kayak dulu,” kata Risa saat mereka duduk bertiga di bawah pohon besar belakang lapangan.
Hana menoleh. “Maksudnya?”
“Kamu akhir-akhir ini kayak sibuk banget. Kalau nggak sama Ryan, ya ngobrol sama Rafa.”
Anissa ikut menimpali, “Kita bukannya marah, cuma… ngerasa beda aja.”
Hana terdiam. Ia tidak bermaksud menjauh, tapi ia juga tak bisa menghindari kenyataan bahwa hidupnya sedang berubah.
Saat itulah, Rafa lewat tak jauh dari mereka. Pandangannya sempat bertemu mata dengan Hana. Tak ada senyum. Hanya tatapan tenang yang menyimpan banyak makna.
Setelah jam sekolah usai, Hana tetap duduk di kursinya, menatap papan tulis kosong di depan kelas. Suara teman-teman yang keluar satu per satu dari ruangan seakan jadi latar musik sunyi yang menekan dadanya.
Tak lama, Risa dan Anissa datang menghampiri, disusul Ika yang membawa tiga cup es teh manis dari kantin.
“Minum dulu, biar nggak tegang,” ucap Ika sambil duduk di sebelah Hana.
Hana tersenyum, “Makasih ya…”
Mereka bertiga saling pandang sebentar, lalu Risa yang pertama membuka suara, “Han, kamu bahagia nggak sekarang?”
Hana menoleh dengan tatapan bingung. “Kenapa nanya gitu?”
“Bukan apa-apa,” Anissa menyahut, “Cuma… kadang, dari luar kamu kelihatan bahagia, tapi pas ketemu langsung, rasanya kayak kamu bukan Hana yang biasanya.”
Suasana jadi hening sejenak. Hana menunduk, memainkan sedotan di gelasnya.
“Aku lagi banyak yang harus dipikirin. Maaf kalau belakangan ini aku keliatan beda,” jawabnya pelan.
Ika menyandarkan tubuh ke bangku. “Kita bukan nyalahin kamu, Han. Kita cuma takut kehilangan kamu. Kita temenan bukan cuma buat ngeramein story atau duduk bareng di kelas. Tapi juga buat jadi tempat pulang.”
Kata-kata itu membuat Hana terdiam lebih lama. Hatinya mencelos. Ternyata, di balik diamnya mereka, ada rasa kehilangan yang ia abaikan.
“Aku juga kangen kalian,” gumam Hana akhirnya. “Aku cuma… lagi bingung, lagi belajar ngatur semuanya. Aku nggak mau kehilangan kalian juga.”
Ketiganya tersenyum kecil. Tidak ada pelukan dramatis, tidak ada air mata. Tapi ada kehangatan yang kembali merambat perlahan di antara mereka.
Hari itu, suasana kelas lebih lengang dari biasanya. Beberapa guru izin tidak hadir, membuat jadwal kosong cukup panjang. Hana, yang duduk di sebelah Anissa, mulai merasa bosan. Tapi tak lama kemudian, Risa masuk sambil membawa dua bungkus roti isi yang langsung ditaruh ke meja mereka.
"Aku bosan banget. Gimana kalau nanti kita makan di taman belakang sekolah aja?" ucap Risa sambil membuka roti.
Ika yang baru datang ikut nimbrung, "Setuju. Sekalian refreshing. Udah lama banget kita nggak kumpul berempat doang."
YOU ARE READING
Part Of Class
Teen FictionSilahkan follow sebelum membaca yaa Kehidupan di masa putih abu-abu adalah masa dimana hal baru dimulai, perjalanan yang tak terduga membuat kita tak sadar bahwa selama ini hanya tersisa 1 tahun untuk melanjutkan ke tingkat kelas terakhir. Kelas s...
