Part 29

343 185 29
                                        

••••••~~ HAPPY READING GUYS ~~••••••
                                ~✨~
                                ~✨~
                                ~✨~
                                ~✨~
                  
                         ••••••💫••••••

Setelah melewati hari yang cukup melelahkan di sekolah dengan perasaan canggung, Hana akhirnya sampai di rumah. Sepatu dilepas, tas diletakkan begitu saja di meja, lalu ia langsung menuju kamarnya. Rumah terasa lebih sunyi dari biasanya, mengingat mamah dan adik-adiknya masih berada di luar kota.

Hana merebahkan diri di kasur dan menatap langit-langit kamar. Pikirannya berputar pada kejadian hari ini—tentang bagaimana ia dan Ryan mencoba menjaga jarak agar tidak ada yang curiga, tentang bagaimana mereka berkomunikasi diam-diam tanpa diketahui siapa pun.

Ia mengambil ponselnya, membuka percakapan terakhir dengan Ryan. Tidak ada pesan baru, tapi Hana enggan untuk mengirimkan sesuatu duluan. Ia hanya menatap layar, ragu-ragu, lalu akhirnya meletakkan kembali ponselnya di samping bantal.

Setelah beberapa saat berdiam diri, Hana bangkit dan berjalan ke depan cermin. Ia memperhatikan wajahnya sendiri, mencoba membaca ekspresi yang selama ini ia pendam.

"Kenapa aku deg-degan sendiri? Kenapa rasanya beda banget?"

Ia menghela napas panjang lalu duduk di kursi belajarnya. Dibukanya laci meja, tempat ia menyimpan surat kecil dari Ryan yang pernah dikirim bersamaan dengan bingkisan beberapa hari lalu. Jarinya menyentuh kertas itu perlahan sebelum akhirnya ia membacanya kembali.

"Aku nggak tahu ini keputusan yang tepat atau nggak, tapi satu hal yang pasti: aku suka kamu, Hana. Aku harap kamu bisa menerima perasaan ini tanpa merasa terbebani. Aku nggak minta jawaban cepat, aku cuma ingin kamu tahu."

Hana menggigit bibirnya, merasa campuran antara senang dan gugup. Ia sudah menerima perasaan Ryan, tapi perasaannya sendiri masih sulit diungkapkan.

"Aku juga suka kamu, Ryan. Tapi kenapa aku masih takut?"

Tangan Hana meremas kertas itu perlahan, lalu ia memasukkannya kembali ke dalam laci.

Mencoba mengalihkan pikirannya, Hana beranjak ke dapur untuk membuat teh hangat. Namun, saat ia menunggu air mendidih, pikirannya kembali melayang. Ia teringat bagaimana Ryan selalu bisa membuatnya nyaman, bagaimana dia selalu ada untuknya, dan bagaimana mereka dulu berbagi cerita tanpa ada batas seperti sekarang.

Setelah teh selesai dibuat, Hana membawanya kembali ke kamar. Ia duduk di dekat jendela, menatap langit sore yang mulai berubah warna keemasan.

Dalam hati, ia bertanya-tanya, "Apa aku bisa menjalani ini tanpa merasa canggung? Apa aku bisa menjaga perasaan ini tetap stabil tanpa mengorbankan pertemananku dengan yang lain?"

Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalanya, membuatnya semakin sadar bahwa hubungan ini bukan sekadar hal kecil.

Tanpa sadar, jari Hana kembali membuka ponselnya. Kali ini, ia mengetik pesan pendek untuk Ryan.

Hana: "Ryan, kamu sibuk?"

Tidak butuh waktu lama, Ryan langsung membalas.

Ryan: "Enggak. Kenapa?"

Hana tersenyum kecil, menatap layar ponselnya sebelum akhirnya membalas.

Hana: "Nggak apa-apa. Cuma pengen ngobrol sebentar."

Di seberang sana, Ryan pasti tahu bahwa Hana sedang dalam dilema. Tapi, tanpa menanyakan lebih lanjut, ia hanya membalas dengan singkat dan hangat.

Ryan: "Aku di sini, Hana. Cerita aja kalau mau."

Part Of ClassWhere stories live. Discover now